Beredar Petisi Terkait Koleksi Indonesia di Perpustakaan Nasional Australia
Sebuah petisi online sekarang sedang beredar yang ditujukan kepada Perpustakaan Nasional Australia (NLA) soal rencana penutupan koleksi dari sejumlah negara Asia.
Petisi ini ditujukan kepada Direktur Jenderal NLA di Canberra, ibukota Australia, Dr Marie-Louise Ayres agar usulan penutupan koleksi Jepang dan Korea serta pengurangan dana untuk koleksi Indonesia dan Mandarin dibatalkan.
Permintaan lain dari petisi tersebut adalah agar membatalkan penutupan \'Asian Reading Room\' di perpustakaan terbesar di Australia tersebut.
Sejak diluncurkan beberapa hari lalu, petisi ini sampai hari Jumat (29/5/2020) sudah mendapatkan lebih dari 1.300 tanda tangan dari target paling kurang 2.000 tanda tangan petisi.
Menurut petisi tersebut disebutkan \'National Library of Australia\' memiliki kekuatan sebagai sumber-sumber terkait studi Asia, yang sudah lama menjadi tujuan bagi para akademisi dan peneliti.
"NLA telah menempatkan Australia dalam peta secara internasional sebagai pusat utama studi Asia," kata petisi tersebut.
"Karena pengurangan dana, dalam beberapa tahun terakhir kebanyakan perpustakaan di universitas di seluruh Australia tidak lagi mengumpulkan bahan dalam bahasa Asia, karena merasa NLA masih akan menjadi pusat pengumpulan bahan-bahan tersebut."
"Bila ini tidak dilakukan lagi, studi soal Asia dan peran penting yang dimiliki Australia untuk menjadi jembatan negara-negara Timur dan Barat tidak akan ada lagi," demikian pernyataan petisi tersebut.
Foto: Supplied: Tieke Atikah sekarang akan pensiun dari NLA setelah pernah bekerja selama 30 tahun menangani Koleksi Indonesia di perpustakaan tersebut.
Eva Fahrun Nisa Amrullah yang sekarang mengajar Antropolgi di School of Culture, History dan Language di Australian National University di Canberra juga merupakan akademisi yang merasakan manfaat dari koleksi berbahasa Indonesia di NLA
"Secara umum berita ini berita ini sangat menyedihkan apalagi untuk akademisi, mahasiswa dan juga publik secara keseluruhan yang sudah mengambil manfaat banyak sekali dari koleksi NLA yang berkaitan dengan Asia dan juga penggunaan Asian Reading Room," kata Eva dalam percakapan dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Eva yang pernah mengajar di Selandia Baru punya pengalaman pribadi ketika dia menyelesaikan pendidikan doktoralnya di ANU.
"Saya ingat waktu saya menyelesaikan S3 saya bisa duduk berjam-jam di sana sampai perpustakaan tutup, karena NLA banyak punya koleksi yang tidak bisa kita dapatkan dari perpustakaan kampus," tambahnya lagi.
Menurut Eva belum diketahui apakah nantinya NLA akan mengurangi pengumpulan bahan-bahan berkenaan dengan Indonesia, selain tidak mempekerjakan lagi ahli perpustakaan penuh berkenaan dengan Indonesia di NLA.
"Kita sebagai akademisi sedih kalau melihat koleksi fisik di perpustakaan semakin berkurang," katanya.
"Saya menikmati melihat dan memegang langung fisik buku baru."
Menurut Eva, di jaman teknologi digital seperti sekarang ini, ketersediaan bahan dalam bentuk e-book juga membantu para peneliti dan mungkin menjadi salah satu yang harus diterima sebagai bagian dari perkembangan teknologi.
"Sekarang banyak yang sudah dalam bentuk e-book," katanya.
"Manfaat dari e-book banyak sekali tentunya. Salah satunya sekarang lebih mudah mencari buku untuk yang tidak punya waktu ke perpustakaan," tambahnya.
"Sekarang banyak juga koleksi yang sudah dalam bentuk digital yang memudahkan kita mengakses arsip-arsip lama,"
ABC Indonesia sudah menghubungi NLA namun ketika artikel ini diterbitkan, namun belum mendapatkan tanggapan
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia