Review Film: Tabula Rasa

by
https://akcdn.detik.net.id/visual/2014/09/16/95e7bc59-fe8c-49a6-9ec0-a58058fc031f_169.jpg?w=650
Film Tabula Rasa. (Foto: Dok. a Life like pictures Production)

Jakarta, CNN Indonesia -- Bermakna tapi sederhana adalah frasa yang sangat tepat disematkan untuk film Tabula Rasa (2014). Sederhana dalam hal ini adalah cerita, tetapi banyak makna yang bisa diambil dari film ini.

Tabula Rasa fokus pada pemuda asal Papua, Hans (Jimmy Kobogau), yang bermimpi menjadi pesepak bola profesional. Mimpinya hampir menjadi nyata ketika ia diajak ke Jakarta, tapi ternyata mimpinya tetap menjadi mimpi.

Secara tidak sengaja Hans bertemu dengan Mak (Dewi Irawan) yang memiliki rumah makan padang. Saat itulah perjalanan hidup Hans yang sesungguhnya dimulai.


Seperti yang saya bilang di awal, cerita film ini sederhana. Dari awal sampai akhir tidak ada cerita yang benar-benar rumit, namun tetap menarik.

Unsur yang membuat cerita ini menarik adalah pembentukan karakter dan perkembangan karakter. Ada empat karakter dalam film ini, yaitu Hans, Mak, Parmanto (Yayu Unru) dan Natsir (Ozzol Ramdan).

Karakter mereka berempat sangat jelas, ajeg dan diberikan porsi yang tepat. Seiring berjalannya film perkembangan karakter mereka terasa natural dan tidak dipaksakan.

Bersamaan dengan perkembangan, penonton diberi tahu bahwa empat karakter ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan dan persamaan masing-masing. Perbedaan di antara mereka memicu konflik yang membuat cerita semakin hidup dan tetap natural.

Salah satunya adalah ketika Parmanto yang berperan sebagai juru masak tidak setuju dengan kehadiran Hans di rumah makan Padang. Sementara Mak, yang memiliki rumah makan itu, mengajak Hans bergabung.

Kemudian, persamaan dari mereka adalah sama-sama suka kuliner. Makanan seperti menjadi pemersatu mereka dalam berbagai kondisi, ketika makan semua berdamai.

Mereka semua memang sangat berbeda, tetapi bisa bersatu setelah belajar dari berbagai konflik.

Cerita semakin menarik ketika penonton disajikan konflik dan kedamaian beberapa kali. Perasaan penonton dibuat campur aduk, bersamaan dengan rasa penasaran apa yang selanjutnya akan terjadi.

Pun inti cerita, atau dalam hal ini makna, tidak diungkap secara langsung. Penonton diajak untuk berpikir lewat adegan demi adegan yang menggugah hati.

Tumpal Tampubolon yang menulis naskah film ini mengerjakan tugasnya dengan sangat baik. Tak heran bila ia meraih penghargaan Penulis Skenario Asli Terbaik Piala Citra 2014. (adp/asa)