Petani Ubi Dihukum 1 Tahun Penjara karena Tebang Pohon di Bengkalis Riau

by
https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2019/12/13/9f4b19db-516f-42c9-8b04-4bb3a4965656.jpeg?w=700&q=90
Ilustrasi pengadilan (Foto: dok. iStock)

Jakarta -

Petani ubi dari Bengkalis, Riau, Bongku (58), dihukum 1 tahun penjara. Bongku terbukti menebang pohon di kawasan hutan tanpa izin.

"Menyatakan terdakwa Bongku bin (alm) Jelodan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang," putus majelis PN Bengkalis sebagaimana dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Bengkalis, Jumat (29/5/2020).

Penebangan yang dimaksud dilakukan Bongku pada November 2019 di Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Tualang Muandau. Pohon yang ditebang adalah 10 pohon eukaliptus dan akasia. Rencananya, di atas tanah itu akan ditanam ubi untuk hidup sehari-hari.

Petugas keamanan yang memiliki izin pengelolaan lahan di lokasi itu kemudian menangkap Bongku dan melaporkan ke aparat kepolisian. Bongku akhirnya diadili dengan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Bongku, oleh karena itu, dengan pidana penjara selama 1 tahun serta denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan," ujar ketua majelis Hendah Karmila Dewi pada 18 Mei 2020.

Kasus ini menjadi ramai dibahas di lini masa. Salah satunya muncul petisi di Change.org yaitu #Bebaskanbongku Stop Kriminalisasi Masyarakat Adat! Hingga berita ini diturunkan, sudah ada 27.784 orang telah menandatangani petisi itu.

"Nggak adil untuk Pak Bongku, yang kesehariannya hanya berladang dan tidak pernah punya niat jahat untuk berbuat jahat. Hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 500 juta itu sangat berat. Punya uang dari mana Pak Bongku untuk bayar denda sebesar itu?" demikian bunyi petisi itu yang dibuat oleh Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat.

Atas reaksi masyarakat itu, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis Rudi Ananta Wijaya mengungkapkan putusan sudah berdasarkan fakta persidangan dalam mengambil keputusan terhadap suatu perkara yang ditangani.

"Dalam perkara Bongku, putusan diambil dengan pertimbangan hukum, teori pembuktian pidana dan pembuktian minimal dua alat bukti ditambah dengan keyakinan. Tidak ada keputusan hakim itu berdasarkan kepentingan, asumsi, dan dugaan," ujar Rudi sebagaimana dikutip dari Antara.

"Putusan hakim dan pengadilan merupakan putusan yang harus dihormati. Apabila ada pihak-pihak yang keberatan, masih ada upaya hukum apa pun dan tidak melakukan penggiringan opini," sambung Rudi.

Menurut Rudi, terkait situasi terakhir yang terjadi di Bengkalis, hal tersebut perlu diberikan penjelasan.

"Sebenarnya kasus itu bukan kasus yang menarik ataupun susah dalam pembuktiannya. Perkara itu menurut pengadilan perkara yang biasa saja. Akan tetapi perkara itu agak sedikit menarik ketika ada pihak berusaha menggunakan perkara itu untuk kepentingan yang lain di mana motifnya kita sudah tahu arahnya ke mana. Kami dari pengadilan terpaksa memberikan hal sebenarnya yang harus kita sampaikan, data kita ada yang sudah di-post terkait dengan pasca adanya putusan Bongku," ujarnya.

(aud/aud)