Pelibatan TNI Atasi Terorisme Dinilai Rentan Langgar HAM

by
https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2020/05/29/1181758/670x335/pelibatan-tni-mengatasi-terorisme-dinilai-rentan-langgar-ham.jpg
Gladi Bersih Peringatan HUT Ke-72 TNI. ©2017 puspen tni

Merdeka.com - Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang rancangannya telah diserahkan pemerintah ke DPR awal Mei 2020 lalu dipandang berpotensi memunculkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat. Diantaranya dalam hal hal penyadapan hingga penangkapan maupun penahanan.

Komisioner Komnas HAM, Choriul Anam mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mensahkan Peraturan Presiden (Perpres) tersebut, terlebih karena adanya tumpang tindih dengan UU lainnya.

"Secara subtansi Perpres itu berbahaya karena potensi pelanggaran hak asasi manusia, di situ ada prosedur yang mengurangi aturan sebelumnya, misal ada penyadapan harus izin ke pengadilan, kemudian penahanan. Tapi di dalam Perpres itu tidak diatur," jelasnya, Jumat (29/5).

Dia mengingatkan, Perpres tersebut juga bertentangan dengan UU Teroris dan UU TNI.

"Menurut saya Perpres Itu baiknya tidak disahkan oleh presiden. Di sini ada beberapa alasan mendasar (tidak disahkan perpres), karena itu bertentangan UU Teroris dan UU TNI," tegasnya.

Alasan lainnya, sambung Choirul, karena Perpres itu mengembalikan lagi tandem fungsi TNI yang tidak sesuai amanat reformasi.

"Kenapa harus (ditolak) Perpres itu? Pertama, adalah melampaui batas, kewenangan dan kerangka dasar penangan teroris yang selama ini ada. Semua doktrin hukum yang ada, peranan tni hanya penindakan saja, kalau selebihnya itu dilakukan polisi dan BNPT," paparnya.

"Tapi kan di Perpres itu mengatur semua soal TNI, soal penindakan pemulihan itu menyalahi aturan yang ada, apalagi operasi teritorial dan operasi intelijen menyalahi prinsip negara hukum," imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama Choirul menyarankan DPR menolak Rancangan Perpres yang diajukan pemerintah Mei lalu. DPR direkomendasikan Choirul untuk tidak Menindaklajuti sekaligus mengusulkan untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perbantuan TNI.

"Ini dari DPR kan itu forum sebatas konsultasi, saya rekomendasi menolak saja, karena tidak sesuai dengan UU Terorisme dan UU TNI. Dan ada baiknya memang jalan keluarnya diusulkan membuka usulan ke presiden membuka rancangan UU Perbantuan untuk TNI," pesannya.

"Itu jauh lebih penting karena itu bisa diatur agar militer dibantu untuk aktivitas selain perang, termasuk terorisme. Dalam konteks penindakan kalau sangat serius saja, di luar itu ada Polri dan BNP. Ini Perpres itu dilakukan tanpa kontrol dan mengancam negara hukum tanpa ada pertanggungjawaban," Choirul.

Di akhir, Choirul mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menandatangani Rancangan Perpres tersebut.

"Presiden sendiri baiknya tidak menandatangani. Kalau menandatangani, maka bertanggung jawab semua pelanggaran yang terjadi karena Perpres itu. Perpres itu membahayakan presiden," timpalnya.

Awal Mei 2020 lalu pemerintah telah menyerahkan Rancangan Peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme ke DPR.

Penyerahan Rancangan Perpres tersebut memicu reaksi sejumlah aktivis, akademisi hingga tokoh masyarakat melalui penandatangan petisi, salah satunya Choirul Anam. Selain Komisioner Komnas HAM, mereka yang menandatangani petisi ini antara lain Guru Besar Fisipol UGM Prof Mochtar Mas'oed, guru besar FH UGM Prof Sigit Riyanto, Alissa Wahid (putri mendiang Gus Dur), dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas. [fik]