Konservasi Setengah Hati

by

Pungky Widiaryanto

Rimbawan dan Pemerhati Konservasi

Kita patut bangga mempunyai biodiversitas tinggi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengklaim keanekaragaman hayati Indonesia menempati urutan pertama di dunia. Sayangnya, setelah hampir 75 tahun merdeka, konservasi sumber daya alam dan ekosistem itu masih setengah hati. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sekitar 2 juta hektare kawasan konservasi rusak, biodiversitas atau keanekaragaman hayati terancam bahkan ada yang punah.

Masalahnya memang cukup kompleks. Supaya jelas, hal ini perlu dipandang dari sisi politik ekologi konservasi. Ada beberapa aspek yang bisa direnungkan. Pertama, diakui atau tidak, upaya konservasi Indonesia adalah warisan kolonial Hindia Belanda.

Pada awal abad ke-20, Hindia Belanda menetapkan Natuurmonumenten atau kawasan konservasi sebagai wilayah jajahan baru. Beberapa sultan dipaksa untuk menetapkannya. Banyak juga yang asal mengklaim padahal ada masyarakat "pribumi" di dalamnya. Setelah ditetapkan, kawasan ini sangat eksklusif bagi orang Eropa dan kroninya untuk berwisata serta berburu. Orang "pribumi" diusir bahkan ditembak jika masuk dan mengambil hasil dari kawasan ini. Bahkan para peneliti dan konservasionis kolonial sering membuat publikasi serta presentasi di kalangan internasional yang menyalahkan penduduk lokal sebagai faktor hilangnya biodiversitas.

Untuk memperkuatnya, pemerintah Hindia Belanda membuat berbagai peraturan yang kaku untuk masyarakat lokal. Ironisnya, prinsip-prinsip konservasi ini diadopsi setidak-tidaknya hingga 1990-an, tapi beberapa peraturan sampai kini masih menggunakan paradigma tersebut.

Setelah Indonesia merdeka, kawasan konservasi warisan kolonial jarang ditinjau kembali. Bahkan pembentukan beberapa taman nasional menjiplak peta Belanda, yang tidak menghiraukan penduduk lokal. Tak mengherankan bila banyak konflik kepemilikan tanah di kawasan tersebut.

Bagi penjajah, keanekaragaman hayati merupakan barang dagangan. Hindia Belanda juga mewariskan pemanenan dan sistem perdagangan biodiversitas. Contohnya adalah eksploitasi burung cenderawasih. Karena permintaan tinggi, pemerintah Hindia Belanda menjadikannya komoditas ekspor. Importirnya adalah negara Eropa dan Amerika Serikat. Konservasionis kolonial seolah-olah menutup mata terhadap gencarnya perburuan cenderawasih. Pelarangan pernah dikeluarkan tapi tidak efektif. Belakangan, Inggris dan Amerika memboikotnya setelah tahu barang itu dari hasil perbuatan dosa. Ekspor pun turun. Banyak pemburu dan pedagangnya gulung tikar.

Pemanenan dan perdagangan satwa liar ternyata diadopsi masyarakat Indonesia kini. Meski dengan dalih penangkapan berdasarkan kuota, di lapangan tak ada yang menjamin demikian. Bahkan inventarisasi stok biodiversitas sebagai ukuran penentuan kuota panen jarang dilakukan. Kini tak hanya pemanenan dari alam, peternakan atau penangkaran beberapa spesies satwa liar menjadi bisnis yang menguntungkan.

Kedua, kawasan konservasi sering identik dengan obyek wisata. Gerakan konservasi di ranah internasional dipengaruhi oleh deklarasi Taman Nasional Yellowstone di Amerika sebagai taman nasional pertama dunia pada 1872. Tujuan Amerika saat itu adalah mencari obyek wisata baru sekaligus menjadikannya identitas nasional. Salah satu cara pengembangan wisatanya adalah dengan memberikan konsesi kepada swasta.

Tampaknya Indonesia meniru gaya Amerika ini. Taman nasional seolah-olah bisa disewakan kepada pengusaha. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem menyebutkan sekitar 5 juta hektare kawasan konservasi dialokasikan untuk pengusaha. Saat ini, paling tidak sudah ada 50 konsesi. Tidak semuanya aktif. Hanya sepertiga yang beroperasi dan untung. Yang lain rugi atau hanya berspekulasi.

Ketiga, dulu lembaga swadaya masyarakat sering kali menjadikan isu konservasi untuk menyusun proposal proyek yang hasilnya konon untuk mengintervensi kebijakan konservasi. Bisa mendorong pemerintah setempat menetapkan suatu taman nasional merupakan indikator kesuksesan.

Pada era itu, penetapan taman nasional bahkan jarang melihat proyeksi pengembangan wilayah. Apalagi pemerintah daerah belum paham betul soal konservasi dan sistem pemerintahan masih terpusat. Akibatnya, belakangan banyak pemangku kepentingan setempat bersitegang dengan kaum konservasionis.

Penetapan kawasan konservasi seharusnya menjadi kedaulatan negara karena menyangkut pembangunan regional. Penunjukan kawasan konservasi seharusnya menghargai keberadaan masyarakat lokal sehingga konflik kepemilikan dapat diantisipasi. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur dan perkebunan di sana tidak lagi menjadi kambing hitam perusak kawasan konservasi.

Indonesia kini memasuki babak baru pembangunan lima tahun. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, konservasi keanekaragaman hayati menjadi salah satu prioritas pembangunan. Di tengah masa pandemi Covid-19, dunia seakan rehat sejenak dan alam pun mempunyai waktu memulihkan diri. Inilah masa yang tepat bagi kita untuk melakukan introspeksi tentang kelestarian keanekaragaman hayati untuk generasi penerus.

*) Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.