Pemunduran Tahun Ajaran Baru

by

Ki Darmaningtyas
Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, Yogyakarta

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah memutuskan bahwa kalender pendidikan dimulai pada Juli dan berakhir pada Juni tahun berikutnya. Ini artinya tidak ada perubahan tahun ajaran meskipun kita sedang berhadapan dengan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Saya semula berharap Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengambil keputusan radikal dengan memundurkan tahun ajaran baru menjadi dimulai pada Januari 2021, sehingga tahun ajaran akan berlangsung pada Januari-Desember, seperti pada periode 1966-1977.

Ada sejumlah alasan yang berkaitan dengan urgensi pemunduran tahun ajaran baru menjadi Januari. Pertama, kita mengandaikan prediksi optimistis bahwa pada akhir Juni ini pandemi sudah berakhir dan pada Juli tahun ajaran baru bisa dimulai. Apakah masyarakat masih memiliki kemampuan (pendanaan) untuk menyekolahkan anak-anak mereka? Sejak pertengahan Maret lalu, banyak usaha tutup dan mereka yang semula menjadi pekerja upahan dirumahkan. Pada Juli nanti belum tentu mereka sudah bisa membuka usaha lagi atau kembali bekerja. Sangat mungkin mereka nanti justru memilih tidak menyekolahkan anaknya.

Kedua, dari perspektif yang pesimistis, tidak jelas kapan pandemi ini akan berakhir. Sangat mungkin pada Juli pun belum tentu berakhir. Jika pandemi belum berakhir pada Juli, kondisi ekonomi dan psikologis masyarakat kurang mendukung untuk memikirkan persoalan-persoalan pendidikan. Terlebih bagi orang tua yang memiliki anak yang akan masuk ke sekolah dasar atau sekolah menengah. Jangankan memikirkan mencari sekolah baru, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah susah. Apakah cukup manusiawi menambah beban masyarakat dalam kondisi demikian untuk memikirkan sekolah anak-anaknya? Bisa-bisa mereka memilih tidak menyekolahkan anaknya.

Bersekolah di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) memang memerlukan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Tapi kebutuhan bersekolah bukan hanya SPP. Bahkan SPP hanya 25 persen dari total biaya pendidikan. Kebutuhan terbesar adalah uang jajan, transportasi, seragam, perlengkapan sekolah (tas, buku, alat tulis, buku pelajaran, dan lain-lain), serta bayar ini-itu yang kadang terjadi setiap saat. Uang jajan, misalnya, minimal Rp 5.000 sehari. Makin tinggi jenjang pendidikannya, makin besar uang jajannya. Hal yang perlu disadari oleh pengambil kebijakan adalah 75 persen sekolah menengah kejuruan (SMK) swasta dan 75 persen siswa yang masuk SMK berasal dari golongan menengah ke bawah, yang saat ini perlu mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Jika dipaksakan tahun ajaran baru tetap dimulai pada Juli, kelompok yang 75 persen ini tidak berminat menyekolahkan anaknya.

Ketiga, bila wabah belum pergi pada Juli nanti, tahun ajaran baru akan dimulai dan pembelajaran dilaksanakan secara online. Hal ini tentu terasa ganjil karena para murid dan guru belum berkenalan tapi sudah harus belajar secara online. Selain itu, tidak semua orang tua dan daerah siap dengan pembelajaran online. Tidak semua orang tua memiliki dan mampu mengoperasikan telepon seluler pintar serta kuota Internet belum tentu mencukupi. Kemampuan ini mutlak dibutuhkan, terutama untuk anak-anak yang baru masuk kelas I SD. Beberapa daerah juga tidak siap karena keterbatasan jaringan listrik dan sinyal seluler. Sejumlah wilayah masih mengalami kendala sinyal seluler.

Keempat, apabila pembelajaran, termasuk untuk murid-murid baru, dilaksanakan di rumah masing-masing secara online, sesungguhnya ada yang hilang dari fungsi sekolah itu sendiri, yaitu sebagai ruang untuk membangun interaksi dan relasi sosial antar-murid serta antara murid dan guru. Bangunan interaksi dan relasi sosial itulah yang menjadi dasar atau alasan sekolah/kuliah masih diperlukan. Fungsi pembelajaran memang dapat digantikan secara online, tapi interaksi dan relasi itu tidak bisa digantikan oleh teknologi karena membutuhkan perjumpaan fisik secara personal.

Ketika Menteri Pendidikan Daoed Joesoef memundurkan tahun ajaran baru dari Januari menjadi Juli mulai tahun ajaran 1979, saat itu tidak ada pandemi, sehingga wajar bila banyak yang merasa dirugikan. Tapi, jika keputusan yang sama diambil saat ini, mungkin responsnya berbeda. Masyarakat, terutama orang tua, akan menyambut gembira bila tahun ajaran baru dimundurkan karena menilai dapat meringankan beban mereka. Pemunduran itu juga dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran mandiri di rumah.

Bagi pemerintah, pemunduran itu dapat menghemat anggaran negara secara signifikan. Paling tidak, dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional pendidikan (BOP) selama satu semester tidak perlu dicairkan, sehingga dapat direalokasikan untuk penanganan Covid-19 di tengah pemasukan pajak yang minus.

Perubahan tahun ajaran ini tentu berlaku untuk semua jenjang pendidikan, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, karena kita hanya mengenal satu sistem pendidikan. Keberatan atas pemunduran tahun ajaran baru akan terjadi pada mereka yang akan melanjutkan sekolah ke luar negeri karena harus menunggu 6-8 bulan guna menyesuaikan dengan jadwal tahun ajaran baru negara tujuan. Tapi itu dapat diisi dengan berbagai persiapan dan pemagangan, sehingga tidak ada istilah sia-sia.

Konsekuensi pemunduran ini adalah mereka yang sekarang sedang bersekolah atau kuliah akan mengalami perpanjangan waktu satu semester dan kenaikan/kelulusan terjadi pada Desember 2021. Itu saja bedanya. Memang mereka rugi waktu satu semester, tapi itu lebih baik daripada memaksakan pembelajaran di rumah yang kualitasnya mungkin jauh lebih buruk lagi.