Duh! Ada Tanda-tanda Emas Drop, Bisa ke Bawah US$ 1.700/oz
by Putu Agus Pransuamitra, CNBC IndonesiaJakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia melemah pada perdagangan Rabu (27/5/2020) melanjutkan pelemahan hari sebelumnya. Logam mulia ini kembali mendekati US$ 1.700/troy ons. Pada pukul 16:32 WIB, emas diperdagangkan di level US$ 1.704,98/troy ons, melemah 0,32% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Selasa kemarin, harga emas ambles lebih dari 1%.
Secara teknikal, emas yang disimbolkan XAU/USD pada 18 Mei lalu membentuk pola Shooting Star pada grafik candle stick.
Jika dilihat pada grafik harian, body (badan) candle stick kecil di bagian bawah, sementara tail (ekor) panjang ke atas. Pola tersebut disebut Shooting Star, dan kerap dijadikan sinyal pembalikan arah atau XAU/USD akan bergerak turun, alias emas berisiko melemah.
Secara psikologis, pola Shooting Star menunjukkan trader yang menjual emas berusaha mendominasi pasar.
Dalam 2 hari pasca munculnya pola Shooting Star, emas masih mampu menguat tetapi tidak mampu mencapai puncak tail US$ 1.764,55/troy ons. Setelah menguat beruntun tersebut, harga emas akhirnya perlahan menurun. Efek pola Shooting Star mulai terlihat.
Emas berhasil melewati support (tahanan bawah) terdekat di US$ 1.720/troy ons Selasa kemarin, sehingga tekanan turun menjadi lebih besar. Level US$ 1.700/troy ons menjadi support selanjutnya, jika mampu ditembus, emas berisiko turun dan kembali memasuki fase konsolidasi, dengan target bawah ke US$ 1.660/troy ons.
Dalam jangka pendek, emas berpeluang kembali menguat jika kembali ke atas US$ 1.720/troy ons. Sementara dalam jangka panjang, outlook emas masih bullish atau dalam tren naik.
Secara fundamental, harapan akan perekonomian segera bangkit setelah mulai banyak negara yang memutar kembali roda perekonomian setelah sukses meredam penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) membuat emas tertekan.
Tetapi, untuk jangka panjang, outlook emas masih bullish. Pada bulan April lalu, Bank of America (BofA) memprediksi harga emas akan ke US$ 3.000/US$ dalam 18 bulan ke depan. Analis dari BofA tersebut melihat perekonomian global yang mengalami resesi, kemudian stimulus fiskal serta peningkatan neraca bank sentral akan membuat pelaku pasar memburu emas sebagai investasi, sehingga harganya akan melonjak.
Pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian global menuju jurang resesi. Akibatnya bank sentral di berbagai negara menerapkan kebijakan ultra longgar dengan memangkas suku bunga bahkan menerapkan kebijakan yang tidak biasa (unconventional) seperti program pembelian aset (quantitative easing/QE).
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang paling agresif, di bawah pimpinan Jerome Powell suku bunga dibabat habis hingga menjadi 0-0,25%, kemudian mengaktifkan kembali program QE dengan nilai tanpa batas. Berapapun akan digelontorkan agar likuiditas di perekonomian AS tidak mengetat akibat pandemi Covid-19 yang membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti.
Di tahun 2008 ketika terjadi krisis finansial global, The Fed dan bank sentral lainnya di Eropa menerapkan kebijakan yang sama, suku bunga rendah serta QE, dampaknya harga emas terus bergerak naik hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada tahun 2011.
Itu baru The Fed, bank sentral lainnya juga menerapkan kebijakan yang sama, bank sentral Australia misalnya, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah menerapkan program QE akibat pandemi Covid-19.
Saat ini, tidak hanya bank sentral yang mengambil kebijakan agresif. Pemerintah di berbagai negara juga menggelontorkan stimulus fiskal guna menanggulangi Covid-19. Pemerintah AS sudah menggelontorkan stimulus senilai US$ 2 triliun, terbesar sepanjang sejarah. Kebijakan tersebut membuat perekonomian global banjir likuiditas, lagi-lagi kondisi yang menguntungkan bagi emas.
Kebijakan moneter dan fiskal tersebut membuat Ole Hansen, Kepala Ahli Strategi Komoditas di Saxo Bank, memprediksi dalam jangka panjang emas akan di atas US$ 4.000/troy ons
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)