Likuiditas Global Berlimpah, Rupiah Perkasa ke 14.710 per Dolar AS
Kurs rupiah pada perdagangan sore ini menguat 0,31% seiring likuiditas global yang melimbah di tengah banjir stimulus bank-bank sentral dunia.
by Agatha Olivia VictoriaNilai tukar rupiah pada perdagangan di pasar spot sore ini, Rabu (27/5) menguat 0,31% ke level Rp 14.710 per dolar Amerika Serikat. Rupiah menguat didukung faktor likuiditas global yang berlimpah di tengah gempuran stimulus bank-bank sentral dunia untuk menangkal dampak kerusakan pandemi virus corona.
Adapun penguatan rupiah sore ini terjadi di tengah pelemahan mayoritas mata uang Asia. Mengutip Bloomberg, yen Jepang turun 0,16%, dolar Hong Kong 0,01%, dolar Singapura 0,12%, dolar Taiwan 0,15%, won Korea Selatan 0,01%, peso Filipina 0,23%, rupee India 0,07%, dan yuan Tiongkok 0,32%.
Sementara hanya ringgit Malaysia dan baht Thailand turut menguat masing-masing 0,22% dan 0,06%.
Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dipublikasikan BI pukul 10.00 WIB juga menempatkan rupiah pada level Rp 14.761, menguat 13 poin dari level kemarin.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai rupiah menguat didukung faktor likuiditas global yang cukup berlimpah. "Sebagai akibat quantitative easing yang dilakukan banyak negara," ujar Piter kepada Katadata.co.id, Rabu (27/5).
(Baca: Positif Corona RI 23.851 Orang, Lebih dari 6.000 Pasien Telah Sembuh)
Di dalam negeri, Bank Indonesia telah menyuntikkan likuiditas ke pasar keuangan dan perbankan sejak awal tahun mencapai sekitar Rp 583,5 triliun. Likuiditas perbankan pun dinilai aman meski menjalankan program restrukturisasi kredit.
Injeksi likuditas tersebut, antara lain melalui pembelian surat berharga negara dari pasar sekunder, penyediaan likuiditas perbankan melalui transaksi term-repo SBN, swap valas, serta penurunan Giro Wajib Minimum rupiah.
Secara perinci, injeksi likuiditas melalui pembelian SBN di pasar sekunder tercatat Rp 166,2 triliun. Kemudian, melalui penurunan GWM rupiah pada Januari hingga April Rp 53 triliun, dan pada Mei Rp 102 triliun. Sedangkan sisanya melalui swap valas dan sebagainya.
(Baca: Pemerintah Akan Hentikan New Normal Bila Ada Gelombang Kedua Corona)
Meski demikian, Piter mengungkapkan masih ada sentimen negatif terhadap rupiah yakni kekhawatiran pasar terhadap kemungkinan gelombang kedua pandemi. Apalagi, Indonesia juga berencana melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). "Memulai dibukanya ekonomi secara bertahap menerapkan new normal," katanya.
Selain itu, pasar juga khawatir dengan ketegangan antara AS dan Tiongkok. Investor masih menunggu sikap Tiongkok yang masih menggelar Kongres Nasional hingga 28 Mei mendatang.
Di sela-sela Kongres, Menteri Luar Negeri Wang Yi mengingatkan agar AS tak mengonfrontasi Tiongkok. Adapun AS sebelumnya juga mengancam sanksi terhadap Tiongkok jika Beijing mengimplementasikan RUU keamanan nasional baru yang lebih ketat atas Hong Kong.