Sejarah Perubahan Arah Kiblat Sholat, dari Al-Aqsa ke Kakbah

by
https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2020/03/12/df339a9c-1701-48d0-9ce7-d8594b74f0c6_43.jpeg?w=700&q=90
Foto: AFP/Sejarah Perubahan Arah Kiblat Sholat, dari Al-Aqsa ke Kakbah

Jakarta -

Hari ini Rabu (27/5/2020) dan Kamis (28/5/2020) besok matahari akan melintas tepat di atas Kakbah. Peristiwa ini bisa dijadikan momen Rashdul Qiblah yang memungkinkan pengecekan kembali arah kiblat sholat supaya tepat menghadap Kakbah.

Kiblat atau arah sholat adalah tempat umat Islam seluruh dunia menghadapkan wajahnya saat beribadah mengharap berkah dan ridho Allah SWT. Perintah menghadapkan wajah ke arah Kakbah atau Masjidil Haram saat sholat terdapat dapat Al-Baqarah ayat 144,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ

Arab latin: fa walli waj-haka syaṭral-masjidil-ḥarām, wa ḥaiṡu mā kuntum fa wallụ wujụhakum syaṭrah

Artinya: "Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya."

Dalam sejarahnya, Kakbah bukan kiblat pertama bagi umat Islam untuk menghadapkan wajahnya saat sholat. Sebelumnya arah kiblat umat Islam adalah ke Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis di Yerusalem. Pada tahun kedua hijrah, turun perintah dari Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk mengubah arah kiblat.

Perubahan arah kiblat terjadi pada bulan Rajab, yang mengutip dari situs AboutIslam, terjadi 16-17 bulan usai hijrah dari Makkah ke Madinah. Saat di Makkah, Rasulullah SAW dikisahkan mengambil posisi sedemikian rupa sehingga tidak membelakangi Kakbah dengan wajah yang menghadap Masjid Al-Aqsa.

Posisi tersebut sulit diterapkan di Madinah karena lokasinya yang berbeda dengan Makkah. Namun faktor utama perubahan arah kiblat adalah konflik yang terjadi antara muslim dengan kelompok yang menentang ajaran Islam. Kelompok tersebut menganggap ajaran Islam sama dengan mereka karena arah dan cara ibadah yang serupa.

Pemikiran ini digunakan untuk menyebarkan keraguan dan kabar tidak baik terkait Islam pada masyarakat umum. Kelompok tersebut juga dikisahkan ingin mengajak Nabi Muhammad SAW bergabung. Rasulullah SAW kemudian berdoa meminta petunjuk pada Allah SWT hingga turun ayat 144 dalam surat Al-Baqarah,

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى ٱلسَّمَآءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ ۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Arab latin: Qad narā taqalluba waj-hika fis-samā`, fa lanuwalliyannaka qiblatan tarḍāhā fa walli waj-haka syaṭral-masjidil-ḥarām, wa ḥaiṡu mā kuntum fa wallụ wujụhakum syaṭrah, wa innallażīna ụtul-kitāba laya'lamụna annahul-ḥaqqu mir rabbihim, wa mallāhu bigāfilin 'ammā ya'malụn

Artinya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Dengan ayat inilah, Nabi SAW yang kemudian diikuti kaum muslim menggunakan Baitullah sebagai kiblat saat sholat. Ayat ini sekaligus menjadi balasan Allah SWT terhadap kelompok yang meragukan atau berlawanan dengan Islam.

Perubahan arah kiblat kembali digunakan kelompok tersebut untuk menyebarkan anggapan dan pemikiran tidak baik terkait Islam. Salah satunya isu ibadah menjadi tidak berkah apabila tidak dilakukan menghadap Masjid Al-Aqsa. Allah SWT menjawab isu tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang sekaligus mengingatkan kewajiban kaum muslim.

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

Arab latin: Laisal-birra an tuwallụ wujụhakum qibalal-masyriqi wal-magribi wa lākinnal-birra man āmana billāhi wal-yaumil-ākhiri wal-malā`ikati wal-kitābi wan-nabiyyīn, wa ātal-māla 'alā ḥubbihī żawil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīna wabnas-sabīli was-sā`ilīna wa fir-riqāb, wa aqāmaṣ-ṣalāta wa ātaz-zakāh, wal-mụfụna bi'ahdihim iżā 'āhadụ, waṣ-ṣābirīna fil-ba`sā`i waḍ-ḍarrā`i wa ḥīnal-ba`s, ulā`ikallażīna ṣadaqụ, wa ulā`ika humul-muttaqụn

Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Perubahan arah kiblat juga menghadapi pertentangan dan keraguan di antara kaum muslim, yang tidak semua setuju sholat dilakukan menghadap Kakbah. Mereka memilih taat karena merupakan perintah langsung dari Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Keraguan dan pertentangan ini dijawab melalui surat Al-Baqarah ayat 143,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Arab latin: Wa każālika ja'alnākum ummataw wasaṭal litakụnụ syuhadā`a 'alan-nāsi wa yakụnar-rasụlu 'alaikum syahīdā, wa mā ja'alnal-qiblatallatī kunta 'alaihā illā lina'lama may yattabi'ur-rasụla mim may yangqalibu 'alā 'aqibaīh, wa ing kānat lakabīratan illā 'alallażīna hadallāh, wa mā kānallāhu liyuḍī'a īmānakum, innallāha bin-nāsi lara`ụfur raḥīm

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia

Dengan ayat-ayat inilah, umat Islam sejak sekitar 622-623 masehi mulai menggunakan Kakbah sebagai kiblat hingga kini. Ketetapan ini tidak berubah meski mengalami verifikasi karena peristiwa astronomis. Pengecekan arah Kakbah menjamin wajah muslim sepenuhnya menghadap kiblat saat sholat.

(pay/erd)