Jangan Biarkan Masalah Gula Mahal Berlarut-larut, Cek Distribusi!

by
https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2020/03/13/9876e50d-cc62-4fe2-bc1b-60572e520607_169.jpeg?w=700&q=80
Foto: Esti Widiyana

Jakarta -

Persoalan tingginya harga gula belum juga rampung hingga Lebaran usai. Pemerintah juga telah diingatkan segera memasok gula demi mengantisipasi lonjakan harga.

"Pertama memang satu permasalahannya di data. Data sebetulnya sudah warning bahwa stok awal kita sudah kurang. Datanya pemerintah kan malah di bawah perkiraan AGI," kata Tenaga Ahli Asosiasi Gula Indonesia Yadi Yusriadi kepada detikcom, Selasa (26/5/2020).

Menurutnya kebijakan pemerintah memenuhi kebutuhan gula terlambat, baik dari impor maupun pengalihan gula rafinasi dengan konsumsi. Selain itu operasi pasar yang dilakukan saat ini tak efektif lantaran jumlah yang dipasok terbatas.

"Jadi kita lihat memang ada satu keterlambatan ambil tindakan. Jadi tindakan-tindakan selalu terlambat," tutur Yadi.

"Kebutuhan gula kita kan 250.000-260.000 ton per bulan, cukup besar. Operasi pasar paling berapa ribu ton, sedikit banget. Ada yang 1.600 ton. Bulog pun dari GMM baru sekitar 30.000-an kan. Yang penting penyalurannya di lapangan, selama tidak dipantau dengan benar, itu menurut saya harga lambat turunnya," sambungnya.

Ia mengungkapkan, salah satu penyebab harga gula tinggi adalah rantai distribusi yang panjang dan ada pihak-pihak yang memainkan harga. Untuk itu, ia meminta agar pemerintah mengawasi distribusi gula secara cermat hingga sampai di tangan konsumen, serta memutus rantai distribusi yang sangat panjang.

"Gula ini segera masuk ke pasar, langsung dari produsen. Jadi dipotong, nggak kebanyakan jalur. Nah ini jangan D-1, D-2, D-3, sampai D-5, tapi langsung dipotong. Perpendeklah distribusi dan diawasi semua pihak, utamanya Satgas Pangan. Distribusi dipantau dan harga dijaga, sehingga bisa ketemu di konsumen itu Rp 12.500/kg," kata Yadi.

Simak Video "Takut Gendut? Ini Tips Minum Boba Rendah Gula"
[Gambas:Video 20detik]

Dengan memotong rantai distribusi, masyarakat diharapkan bisa menerima gula langsung dari produsen dengan harga sesuai acuan. Namun, jika rantai distribusi selama ini sudah tercipta sangat panjang, maka penindakan ke para pedagang yang menjual gula dengan harga tinggi itu kurang efektif untuk menurunkan harga.

"Ada banyak yg di lapangan beli dari D-1, D-2 itu belinya sudah mahal. Jangan sampai pedagang-pedagang di tengah ini sudah belinya mahal harus jual murah. Kalau kena penalti dengan hukum, kan kasihan, kan mereka mau untung juga. Masa belinya dari distributor sudah Rp 14.000-15.000/kg, disuruh jual Rp 12.500/kg?" urainya.

Ia mengungkapkan, stok gula di pasar-pasar tradisional memang terus ada, namun dijual dengan harga tinggi. Menurut Yadi, hal ini yang membuat stok gula di ritel-ritel modern selalu kosong, karena tak bisa menjual di atas harga acuan.

"Ini black market yang muncul. Artinya tetap di pasar-pasar tradisional yang ada, tetapi di pasar-pasar modern itu malah jarang. Nah saran dari kami sebetulnya segera saja dipercepat penggelontoran dari sumbernya," tutur Yadi.

Yadi menegaskan pemerintah harus tetap cermat dalam mengawasi penyaluran gula sampai ke konsumen. Ia berpendapat, jika langkah itu sudah dilakukan maka pemerintah dapat mengetahui secara detail penyebab kenaikan harga gula, serta solusi apa yang harus diberikan.

"Kita jangan mencari kesalahan, mari kita selesaikan. Kalau nggak ya nggak akan selesai-selesai masalah gula ini," kata Yadi.

Simak Video "Takut Gendut? Ini Tips Minum Boba Rendah Gula"
[Gambas:Video 20detik]

(eds/eds)