Kisah Dokter Relawan yang Tidak Mudik saat Pandemi
by Trisna WulandariIntisari-Online.com - Selepas salat subuh, dr. Nia Rahmawinata bergegas turun mengenakan alat pelindung diri (APD) bersama 12 rekannya.
Memakai baju ruang operasi, handscoon, penutup kepala, masker, goggle, dan hazmat suit sendiri bisa makan waktu 45 menit.
Sebelum itu, ia juga harus memastikan sudah cukup makan, minum, dan buang air.
Sebisanya, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh ini tak menghabiskan APD lebih dari satu set per hari, karena tak bisa lepas-pasang begitu saja kalau sudah dipakai.
Ia bercerita, rekannya yang berpostur tinggi atau lebar bahkan terkadang memasang APD 1 jam lebih awal dari shift jaga.
Sebab, APD yang mereka pakai terkadang jadi robek dan harus ditambal dengan selotip.
Mereka juga memastikan area hidung dan bawah kantung mata diplester dengan baik agar tidak lecet akibat tekanan masker dan goggles yang dipakai rapat-rapat.
Terkadang harus ditempelkan hansaplast untuk menghindari lecet di area yang sering mengalami pergesekan atau tekanan.
Terkadang di sekitar goggle juga ditutup rapat dengan selotip untuk menyiasati agar tidak berembun.
“Ada yang pertama kali pasang APD itu sampai tremor (gemetaran),” ujar Nia tertawa.
Tekanan yang para tenaga medis ini hadapi memang tak kecil.
Salah pasang APD, bisa ikut terinfeksi.
Terlebih, para tenaga medis di RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran ini bertugas setidaknya 8 jam per hari melayani pasien positif Covid-19.
Terkadang malah overtime. Dan itu menjadi hal yang biasa.
Mengecek pasien yang perlu rapid test, penjadwalan swab, monitoring dan evaluasi terapi, pelaporan dengan dokter spesialis penanggung jawab, pasien yang bisa pulang, ditambah laporan dan pindah tangan tugas ke rekan selanjutnya (operan jaga), kadang tanpa terasa mereka bisa bertugas hingga 10 jam per shift jaga.
Belum lagi proses dekontaminasi berlapis yang harus dilewati.
Nia bercerita, dengan mobilitas tinggi selama bertugas, naik-turun lantai-lantai perawatan, menyelesaikan jobdesk yang tidak sedikit bisa membuat shift jaga sekian jam menjadi tidak terasa.
Baru terasa lelah ketika selesai jaga dan kembali ke kamar.
“Biasanya yang paling menonjol itu rasa haus, yang tidak pernah dirasakan sebelumnya."
"Pernah sekalinya minum kayak onta kehausan.” ujarnya tertawa ketika dihubungi Intisari.
Nia mengaku bersyukur bertemu rekan-rekan yang tak suka mengeluh.
“Dibawa lucu saja, agar tak terbebani,” tutur Nia.
Menjadi relawan
Ketika IDI mengeluarkan pemberitahuan kebutuhan relawan untuk RS Darurat Wisma Atlet yang baru diresmikan, Nia masih bertugas di klinik swasta di Depok.
Daerahnya bertugas dulu merupakan area berisiko menjadi episentrum wabah, di sekitar Depok Timur.
Biasanya, Nia memulai praktik sehari-hari dengan jadwal 6 dan 12 jam, serta jaga malam kamis dengan durasi 14 jam.
Keresahannya muncul selepas melihat pengumuman pencarian relawan IDI.
“Sempat mengabaikan pengumuman tersebut karena saya sudah punya tempat tugas tersendiri, tapi malah mendadak sulit tidur."
"Entah karena resah dengan APD yang semakin sulit didapat, atau barangkali ini yang dinamakan “panggilan jiwa” ujarnya.
Ia pun mencoba shalat istikharah usai sulit tidur 2-3 hari setelahnya.
Selepas istikharah, dorongan itu semakin menguat lewat beberapa petunjuk serta semakin seringnya singgah beberapa notifikasi pencarian relawan di berbagai aplikasi.
Ia pun membulatkan niat meminta izin orangtuanya dengan menyiapkan beberapa pendapat logis yang kira-kira bisa menenangkan orangtua.
Di luar dugaan, sang ibu mengizinkan.
Bagi orangtuanya, ketersediaan APD cukup membuat tenang untuk melepas anaknya bertugas sebagai relawan hingga pandemi selesai.
Sesanggup yang anaknya mampu.
Nia pun akhirnya terdaftar sebagai relawan IDI gelombang kedua.
Sambil menunggu jadwal keberangkatan, Nia mengikuti induksi lewat Zoom dari PB IDI.
Pembekalan di antaranya kriteria diagnosis, persiapan sebagai lini terdepan, langkah menangani pasien, dan juga seputar APD.
Sekitar sepuluh hari setelah RS Darurat dibuka, ia pun mulai bertugas.
Nia bercerita, merawat aspek psikologis pasien menjadi fokusnya sejak awal penugasan.
Ketiga masuk IGD, ia merasakan tekanan yang dihadapi para pasien.
Sempat merasakan nada suara pasien yang berbeda dari pasien IGD di rumah sakit lain, gestur khawatir dan perasaan insecurity yang dirasakan pasien saat masuk RS menjadi salah satu perhatiannya.
“Tidak semuanya bisa berdamai dengan keadaan."
"Terkadang pasien denial saat tahu hasil rapid atau swab positif."
"Memang saat awal masa pandemik ini, pengetahuan tentang COVID-19 masih terbatas dan menyebabkan rasa cemas dan panik di tengah masyarakat."
"Ditambah lagi dengan pemberitaan, beredarnya rumor yang belum tentu benar, terasa mengerikan bagi sebagian besar pasien."
"Ini sangat memberi tekanan pada psikologis mereka,” tuturnya.
Karenanya, Nia biasa memberi pemahaman, meminta maaf jika pasien tidak nyaman melihatnya dengan kostum coverall, memberi dukungan secara psikis dengan menenangkan pasien yang merasa cemas.
Ia pun menjelaskan APD yang dipakainya tidak bermaksud memberi jarak, namun sudah menjadi bagian dari protap.
Nia juga rutin mengingatkan bahwa hasil rapid test positif belum tentu positif COVID-19, hasil swab-lah yang kemudian menentukan.
Kalaupun hasilnya positif, pasien harus bisa menerima dengan baik kondisinya, dan fokus saja untuk proses penyembuhan.
Penting sekali memberi motivasi agar mereka menyusul pasien-pasien sebelumnya yang sudah sembuh dan keluar dari RS Darurat dengan mengantongi surat keterangan sehat.
Pasien akan diperbolehkan keluar RS Darurat dan dinyatakan sembuh bila hasil swab test dua kali negatif berturut-turut.
Tidak pulang demi keluarga
Dengan pandemi yang belum mereda, Nia menjalankan konsekuensi untuk berlebaran di tempatnya bertugas.
Tidak mudik bagi Nia jadi pilihannya untuk mendukung pemutusan mata rantai penularan.
Juga demi rasa cinta pada keluarga.
Sebab, ia yang berpotensi jadi carrier virus jadi tak harus bertemu keponakannya yang masih balita, dan orangtuanya yang sudah lanjut--kelompok usia yang rentan tertular virus.
Karenanya, tahun ini Nia mencoba memaknai bahwa merayakan lebaran di mana pun mestinya sama saja.
Mudik yang sudah terencana dengan baik diganti dengan mudik online, yaitu tetap menjalin koneksi terutama melalui video call dengan keluarga dan teman-teman.
Nia juga menyarankan warga untuk ikuti anjuran pemerintah dan fatwa MUI, salah satunya untuk tidak mudik.
Ia mengakui, kondisi memang dilematis bagi warga yang tidak bisa mendapat penghidupan di tanah rantau, sehingga memilih mudik.
Kendati demikian, warga yang dapat tidak mudik baginya dapat berkontribusi sesuai keahliannya di masa pandemi ini.
“Membuat video edukasi sesederhana cuci tangan, memakai masker, dan video yang menyemangati pasien selama berjuang menghadapi virus ini, bisa sangat berarti buat kami."
"Atau cukup dengan di rumah saja, bermain sosmed dengan menyebar naras-narasi yang sejuk dan menenangkan” tutur Nia.
Harapannya, para warga jadi tidak takut dengan wabah, namun tetap mematuhi pemakaian alat proteksi diri, seperti masker terlebih di masa lebaran yang rentan pelanggaran PSBB dan meningkatkan risiko penularan.
Menjaga jarak justru karena rasa sayang dan keinginan untuk saling melindungi.
Sebab, kita tidak tahu orang sehat di luar rumah meskipun tampak sehat, bisa saja berpotensi sebagai carrier (pembawa) virus.
Sementara itu, perburukan infeksi hingga meninggal bisa terjadi dalam lima hari saja sejak gejala muncul, bagi yang daya tahan tubuhnya tidak cukup kuat.
“Jadi, demi keamanan bersama tetap lebih baik tidak usah keluar,” tuturnya.
Di rumah sakit, Nia menjaga suasana hati agar fisik dan mentalnya tidak drop. Agar sistem imun selalu terjaga.
Sebelum bertugas di RS Darurat COVID-19, ia biasanya merawat diri baik secara fisik maupun psikis salah satunya dengan berolahraga muaythai atau renang di pagi hari, sebelum beraktivitas.
Kini, selama istirahat tugas (karantina 14 hari), ia biasanya menghabiskan waktu dengan mengikuti perkembangan informasi perihal COVID-19 lewat forum-forum diskusi online, salah satunya webinar.
Namun lepas itu, baginya, tidur saja jadi rutinitas yang jenuh di antara waktu bertugas.
Nia pun menyiasati rutinitasnya agar tidak terlalu monoton selama karantina. Salah satunya dengan membeli gitar di marketplace.
Karena tak sempat membawa gitarnya sebelum bertugas.
Sekedar selingan hiburan untuk diri sendiri.
Pasien di rooftop
Variasi rutinitas karantinanya pun dibuat beragam.
Biasanya, selama periode karantina, selepas subuh, ia bergegas memakai sepatu untuk berolahraga di rooftop gedung.
Kini terkadang diselingi dengan memetik gitar sambil menunggu sunrise.
“Ini seolah meditasi, me-time saya,” tuturnya."
Kadang ia berkumpul dan workout bersama dengan teman-temannya, masih di rooftop yang sama.
Nia bercerita, kali pertama membawa gitar membuatnya terharu melihat para pasien tengah semangat berolahraga di rooftop gedung seberang.
Mereka menepuki Nia dari jauh, menyapa sang dokter.
“Saya teriak, ‘semoga cepat sembuh’."
"Melihat mereka semangat beraktivitas, seperti olahraga pagi, menebar semangat positif dengan tepukan dan teriakan dari rooftop seberang, itu momen manis sekali buat saya,” tuturnya.
Selama dikarantina, dokter relawan yang bertugas dan dokter yang tengah dikarantina dipisahkan ruang aktivitasnya.
Dokter yang dikarantina juga tetap memakai masker sebagai proteksi diri sendiri dan orang di sekitarnya.
Nia bercerita, tim medis yang sedang berada di fase on duty biasanya sudah terlalu sibuk untuk beraktivitas di luar tugasnya.
“Kami dituntut oleh kondisi untuk tetap updated setiap saat, jadi terpancing belajar lagi, seperti prinsip dokter, belajar seumur hidup,” tuturnya.
Para tenaga medis yang tengah bertugas terutama bagi yang menjalani shift siang pun, terbiasa kembali ke kamar saat tengah malam, sebab harus menjalani proses dekontaminasi berlapis yang memakan waktu cukup lama.
Selepas operan jaga dan sebelum melepas hazmat, ada serangkaian proses dekontaminasi di bawah pengawasan personel TNI khusus yang tergabung dalam Kompi Zeni Nubika (Nuklir, Biologi, dan Kimia).
Prosesnya di antaranya membersihkan sepatu boot di wadah yang tersedia sambil disikat, lalu masing-masing akan disemprot seluruh tubuh dengan cairan dekontaminasi RM21.
Setelah penyemprotan kedua barulah mereka boleh membuka hazmat suit dengan langkah-langkah sesuai protokol.
Belum selesai hingga tahap itu dan masih berlanjut dengan mencuci tangan setelahnya menggunakan air mengalir dan sabun, lalu memasuki dua bilik desinfeksi basah dan kering.
Nia sangat mengapresiasi keberadaan satuan khusus Zeni Nubika ini.
Mereka tekun sekali dan memastikan kami yang selesai shift bertugas di zona merah ini melewati proses dekontaminasi sebelum perpindahan tower.
Para tenaga medis juga diwajibkan mandi sebelum kembali ke tower penginapan.
Setelah tiba di tower penginapan pun lagi-lagi wajib mandi untuk yang kedua kalinya.
Jika usai jaga malam hari, tak jarang mereka jadi tidak enak badan dan bermasalah di lambung karena tak jarang mendapati makanan yang tersediapun sudah tidak layak lagi untuk dimakan.
“Untungnya, tidak lama kemudian para tenaga medis disediakan makanan di malam hari,” jelas Nia.
Nia bercerita, biasanya yang bolak-balik ke rooftop adalah tenaga medis yang tengah dikarantina.
Begitupun dengan yang berolahraga.
Ada dua set meja pingpong di salah satu lantai tower penginapan.
Area ini salah satunya yang jadi rebutan hiburan, terlebih karena mereka tak keluar area rumah sakit, apalagi mudik.
“Kadang bolanya disembunyikan, saya sampai beli sendiri,” ujarnya tertawa.
Saling mengerti di tengah pandemi
Meski tugas mereka tak ringan, Nia mendapati animo rekan-rekannya untuk terus bertugas tetap tinggi.
Kelompoknya yang merupakan relawan IDI gelombang 2 terdiri atas 16 orang dan bahkan ada yang berasal dari luar kota seperti Kalimantan, Jogja, Malang, Surabaya, Bandung, dan kota-kota lainnya.
Selama bertugas, jarang sekali ada yang mengeluh.
Semua terasa menyenangkan, meskipun awalnya tampak berat.
Semangat itu yang membuatnya betah.
Teman-teman sejawat pun sudah seperti keluarga baginya.
Namun setelah satu bulan, beberapa diantara mereka ada yang tidak dapat melanjutkan tugas relawan karena harus menyiapkan studi spesialis dan benturan izin lainnya.
Nia bersyukur dengan banyaknya dukungan yang hadir untuknya dan rekan-rekan tenaga medis, dari donasi APD, bahan makanan hingga multivitamin, bahkan donasi mesin cuci untuk memudahkan keseharian mereka.
Bersyukur juga dengan doa yang tak putus mengalir dari berbagai kalangan.
Juga berharap, kebaikan yang dirasakannya dari masyarakat juga dirasakan para tenaga medis lain di luar sana.
Pasalnya, berita tentang stigmatisasi tenaga medis, yang diusir dari kos, atau ditolak lingkungannya, masih saja kerap terdengar.
Belum lagi yang meremehkan PSBB, dan mengecilkan bahaya virus ini via berbagai tayangan di platform media sosial.
Padahal, tutur Nia, para tenaga yang bertugas selama pandemi telah berkorban waktu dengan keluarga.
Ia menekankan, warga sedapatnya berikhtiar sebelum tawakkal, memproteksi diri sebaik-baiknya, dan memilah konten yang dikonsumsi dari narasumber yang berkapasitas.
Sebab, di situasi pandemi, tidak ada yang benar-benar pasti, informasi terus berkembang, sehingga selalu ada perbaikan dan evaluasi di setiap bidang.
Tidak ada yang tahu dengan pasti kapan pandemi ini bisa berakhir.
“Dengan demikian, fokuslah pada imunitas, proteksi diri (menghindari kerumunan serta menjaga jarak sejauh 6 kaki atau 1,5 - 2 meter, menggunakan masker setiap beraktivitas, mencuci tangan dengan air dan sabun)."
Termasuk menjaga kesehatan mental adalah hal yang paling penting di tengah pandemi ini.
Ia menambahkan, tetap berolahraga, berpikiran positif, dan hindari berita/rumor dan cek kebenaran setiap infomasi yang didapat.
“Wajar bila kita stress."
"Sebagai manusia normal, hal itu sangat wajar."
"Namun kita bisa temukan banyak cara agar tetap sehat secara fisik dan mental selama beraktifitas di tengah pandemi COVID-19 ini,” tutupnya.