Karantina wilayah di tengah pandemi Covid-19 genjot penggunaan telekonperensi: Bagaimana dua perusahaan teknologi raksasa asal China berupaya mengalahkan Zoom

by

Aplikasi rapat virtual menjadi begitu penting saat masyarakat dunia beradaptasi pada situasi normal baru di tengah pandemi Covid-19.

Walau kebijakan 'lockdown', pembatasan sosial atau karatina wilayah mulai dilonggarkan, rapat virtual dianggap lebih aman dan nyaman untuk tetap berkomunikasi soal urusan bisnis maupun bercengkrama dengan sanak famili.

Zoom kini menjadi aplikasi yang digunakan jutaan orang. Aplikasi ini mengungguli produk buatan perusahaan teknologi besar seperti Microsoft dan Google.

Namun perusahaan Zoom kini menghadapi tantangan dari sejumlah korporasi tekonologi besar di China.

Sejak September 2019, pemerintah China untuk sementara waktu memblokir Zoom. Akibatnya, terdapat ceruk pasar yang terbuka untuk aplikasi lokal, seperti DingTalk yang disokong Alibaba dan Tencent yang dibiayai Voov.

https://c.files.bbci.co.uk/EB17/production/_112438106_tv061575520.jpg
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, menggelar pertemuan virtual dalam Lokakarya Hidden Harms Summit, melalui aplikasi Zoom, 21 Mei lalu.

Sejak saat itu, dua aplikasi video konferensi buatan dua perusahaan China tersebut memperbesar ukuran rapat virtual dan jangkauan layanan mereka.

Alibaba menyatakan aplikasi DingTalk digunakan lebih dari 10 juta pebisnis dan organisasi serta lebih dari 120 juta pelajar di seluruh China.

Saat semakin banyak orang terpaksa bekerja dari rumah, Alibaba menaikkan tiga kali lipat jumlah peserta yang bisa terlibat dalam konferensi video di DingTalk, menjadi total 300 peserta.

April lalu, Alibaba meluncurkan aplikasi rapat virtual versi internasional, yaitu DingTalk Lite. Aplikasi ini mereka tujukan untuk pasar Asia, termasuk Jepang, Singapura, dan Hong Kong.

Saat ini DingTalk Lite tersedia dalam bahasa Jepang, Inggris, dan aksara Mandarin.

Dua pekan sebelumnya, Tencent juga membuat aplikasi mereka tersedia untuk pasar luar negeri.

VooV adalah versi global untuk Tencent Meeting. Aplikasi itu dapat digunakan di sejumlah negera, antara lain India, Jepang, dan Singapura. Mereka juga dapat menampung 300 peserta dalam satu konferensi video.

"Karena jumlah kasus Covid-19 terus meningkat di luar China, kami berencana menyediakan aplikasi ini untuk pengguna kami di negara lain yang dapat bekerja dari luar kantor," kata Lori Wu, wakil presiden Tencent Cloud, saat peluncuran VooV.

"Ke depan, kami berencana menyediakan layanan ini ke seluruh dunia dengan penyesuaian terhadap peraturan masing-masing negara," tuturnya.

Adapun, awal Mei ini Zoom menghadapi sejumlah pembatasan dari pemerintah China.

"Di China daratan, pendaftaran pengguna baru dibatasi untuk perusahaan yang mendaftar lewat perwakilan resmi kami," kata seorang juru bicara Zoom kepada BBC.

"Pengguna tak berbayar di China mungkin tetap bisa menggunakan Zoom, dalam konferensi video yang dibuka oleh pengguna yang terdaftar," ujarnya.

Merujuk data yang disediakan Zoom, setiap hari terdapat sekitar 300 juta pertemuan virtual dalam aplikasi mereka. Namun Zoom tidak mempublikasi jumlah pengguna harian atau pengguna terdaftar mereka.

Kini uang dalam jumlah besar dipertaruhkan saat pasar global untuk teknologi telekonferensi diperkirakan mencapai US$16 juta (Rp235 miliar) pada 2030, meningkat dari US$6 juta (Rp88 miliar) tahun 2019, merujuk data dari Transparency Market Research, firma analisis bisnis.

https://c.files.bbci.co.uk/13937/production/_112438108_tv061469456.jpg
Seorang guru di Nigeria, Emmanuel Ntaji, menggunakan Zoom untuk mengajar anak didiknya secara virtual. Zoom awalnya dibentuk untuk perusahaan dan entitas bisnis, bukan konsumen orang per orang.

Pakar perangkat lunak, Rishi Jaluria, dari DA Davidson, menggarisbawahi bagaimana perusahaan selain Zoom berusaha meraup untung dari pasar ini.

"Zoom pada dasarnya adalah aplikasi untuk bisnis, bukan konsumen orang per orang. Pandemi Covid-19 dan karantina wilayah membuat banyak orang menggunakannya. Tapi ingat, Zoom tidak akan mengambil untung dengan menjual data pengguna ataupun menayangkan iklan," kata Jaluria.

"Di sisi lain, pemilik DingTalk dan VooV, yaitu Alibaba dan Tencent, memiliki bisnis yang sangat bergantung pada iklan dan data pengguna," tuturnya.