https://awsimages.detik.net.id/visual/2019/12/12/1680a810-15c6-497a-849d-a439fa364b3e_169.jpeg?w=715&q=90
Foto: Aktivitas warga di kawasan pemukiman kumuh Muara Baru (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Corona Tak Kunjung Reda, 1 Miliar Orang Lebih Terancam Miskin

by

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi yang terjadi akibat virus corona (Covid-19) yang tak kunjung reda telah menjadi ancaman global. Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama bertahun-tahun kini terancam gagal.

Berdasarkan data kompilasi John Hopkins University CSSE, hingga hari ini sudah ada lebih dari 5,4 juta penduduk planet bumi dinyatakan positif terinfeksi Covid-19. Sudah hampir 5 bulan berlangsung wabah yang dipicu oleh agen infeksi ultra mikroskopik ini tak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Beberapa negara seperti di belahan Benua Biru dan beberapa negara Asia seperti China dan Korea Selatan sudah mulai mendeklarasikan diri menang lawan pandemi. Virus corona berhasil 'dijinakkan' dan pertambahan jumlah kasus baru berhasil ditekan.


Banyak negara yang mengikuti style, China dalam menangani Covid-19 yakni dengan strategi karantina wilayah atau lebih sering dikenal dengan lockdown. Tak peduli negara kaya atau berpenghasilan rendah mengikuti cara tersebut. 

Keberhasilan lockdown dalam menekan jumlah kasus di berbagai negara Eropa mendapat apresiasi walau ekonominya luluh lantak. Kini bahkan negara-negara tersebut sudah ambil ancang-ancang untuk kembali memacu roda perekonomian agar berputar dengan lebih cepat. 

Namun sayangnya lockdown tak sepenuhnya berhasil diterapkan di semua negara. Bagi negara-negara yang tergolong ke dalam kategori miskin bahkan harus menerima dampak yang sangat signifikan. Di sinilah letak sedihnya.

Lockdown, membuat sekolah tutup, perkantoran sepi, jalanan lengang dan pabrik-pabrik tidak beroperasi. Jutaan orang di dunia mendadak kehilangan pekerjaannya. Angka kemiskinan pun melesat signifikan.

Dari tahun 1990 hingga tahun lalu jumlah orang yang sangat miskin yakni mereka yang hidup dengan kurang dari US$ 1,90 per hari turun dari 2 miliar, atau 36% dari populasi dunia, menjadi sekitar 630 juta, atau hanya 8%.

Sekarang, untuk pertama kalinya sejak 1998, jumlah itu meningkat sangat cepat. Pertanyaan besarnya adalah: berapa banyak orang yang akan kehilangan pekerja? Akankah mereka kembali bekerja ketika pandemi ini berlalu, atau malah dampaknya akan bertahan lama bahkan permanen?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sangat sulit dijabarkan. Bank Dunia memperkirakan bahwa lockdown nasional dan keruntuhan ekonomi global akan mendorong setidaknya 49 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem. Jika ini terjadi maka jumlah orang yang kembali jatuh miskin akan setara dengan tahun 2017.

Tampaknya hal itu sangat mustahil - perkiraan Bank Dunia didasarkan pada data yang diterbitkan pada bulan April. Angka terbaru jauh lebih suram. Sebagai contoh, pada 17 Mei Goldman Sachs memperkirakan bahwa ekonomi India menyusut pada tingkat tahunan sebesar 45%.

Andy Sumner dari King's College London memperkirakan bahwa jika pendapatan global per kepala turun 20% untuk setidaknya selama beberapa bulan, jumlah orang yang sangat miskin dapat meningkat hingga 420 juta. Itu akan menghapuskan upaya pengentasan kemiskinan dalam satu dekade terakhir. Sebagaimana dilaporkan the Economist.

Jika prediksi Andy Sumber benar, maka jumlah penduduk bumi yang berada dalam kondisi kemiskinan ekstrem akan mencapai lebih dari 1 miliar orang. Jumlah ini setara dengan 12,8% dari total populasi global.

Banyak negara miskin mengikuti strategi lockdown yang telah diberlakukan di negara-negara kaya. Namun keadaannya sangat berbeda. Negara-negara kaya cenderung memiliki pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. 

Selain itu para pekerja di negara-negara kaya yang tidak dapat melakukan pekerjaan mereka, seperti resepsionis atau pelayan hotel, biasanya didukung dengan baik oleh pembayar pajak.

Hal ini tentu benar-benar berbeda dengan kebanyakan negara miskin yang tidak banyak pekerjaannya yang bisa dilakukan dari rumah. Pada masa normal, orang-orang di negara miskin memiliki banyak cara untuk mengatasi guncangan. Jika salah satu anggota keluarga jatuh sakit, yang lain dapat bekerja berjam-jam untuk menebus hilangnya pendapatan.

Mereka juga dapat meminta bantuan sepupu atau tetangga atau, jika seluruh desa mengalami hal buruk seperti gagal panen, mereka dapat meminta keponakan yang bekerja di kota besar atau negara asing untuk mengirim uang tunai tambahan.

Namun semua mekanisme ini tak berlaku akibat pandemi Covid-19 yang terjadi secara serempak. Di banyak tempat, pekerja tidak dapat menebus hilangnya pendapatan dengan bekerja lebih keras karena permintaan tenaga kerja mereka telah runtuh.

Orang yang baru saja miskin tidak dapat dengan mudah mendapatkan bantuan dari teman atau kerabatnya, di mana pun di dunia ini, mereka semua mengalami goncangan ekonomi yang simultan dan masif.

Bank Dunia memperkirakan bahwa pengiriman uang dari pekerja migran akan turun 20% tahun ini. The Economist melaporkan, migran laki-laki Nepal yang masih di luar negeri sekarang mengirim kembali hanya seperempat dari yang mereka pada bulan Januari. Banyak yang tidak mengirim apa-apa bahkan setelah kembali ke rumah.

Sebagai akibatnya kemiskinan ekstrem pun berada di depan mata. Bahkan untuk membeli makan pun akan sangat susah bagi mereka dengan kondisi yang sekarang terjadi. Apalagi di saat yang sama krisis pangan juga terjadi di banyak negara. Alhasil harga bahan pokok naik dan daya beli masyarakat tercekik.

Di India harga kentang melonjak lebih dari 15%. Di Uganda harga sebagian besar makanan utama telah naik lebih dari 15% sejak pertengahan Maret. Pasokan makanan global terus meningkat, tetapi gangguan lokal sangat parah.

Di provinsi Quezon di Filipina, karantina "ekstrem" telah membuat labu, kacang, dan semangka layu di ladang. Di India, sayuran yang dipanen dibiarkan membusuk karena tidak dapat diangkut ke pasar. Di Afrika Timur covid-19 bukan satu-satunya wabah yang menyerang tahun ini: triliunan belalang sekali lagi melahap tanaman pangan. Semua fakta ini semakin memperburuk keadaan.

Selain itu, lockdown yang diharapkan dapat menyelamatkan nyawa dari pandemi di beberapa negara justru malah berpotensi menimbulkan lebih banyak kematian karena terhambatnya vaksinasi dan faktor-faktor lainnya.

Sistem layanan kesehatan telah terganggu tidak hanya oleh virus itu sendiri tetapi juga oleh lockdown, yang membuat orang yang menderita penyakit selain Covid-19 untuk mendapatkan pengobatan.

The Economist melaporkan, sebuah tim di Universitas Johns Hopkins menghitung bahwa di 118 negara miskin dan berpenghasilan menengah, gangguan pada sistem kesehatan dan kelaparan dapat membunuh 1,2 juta anak lebih banyak dan 57.000 ibu selama enam bulan.

Stop TB Partnership, sebuah kelompok penelitian internasional, menganggap bahwa di India saja gangguan diagnosis dan perawatan dari lockdown selama tiga bulan, diikuti oleh periode pemulihan 10 bulan, dapat menyebabkan 500.000 kematian tambahan akibat TBC.

Saking ngerinya, lockdown bisa menelan lebih banyak nyawa daripada yang dapat diselamatkan. Sebuah laporan oleh London School of Hygiene & Tropical Medicine memperkirakan bahwa jika pembatasan mencegah vaksinasi di Afrika, maka akan ada  140 orang yang mati untuk setiap kasus kematian Covid-19 secara bersamaan dicegah.

Pandemi corona memang mengerikan. Tidak hanya menyerang kesehatan saja, musuh tak kasat mata dengan ukuran mikroskopik ini juga membuat angka kemiskinan ekstrem melonjak tajam. Semoga saja pandemi ini cepat berakhir.


TIM RISET CNBC INDONESIA




(twg/roy)