https://beritajatim.com/wp-content/uploads/2020/05/perawat1.jpg
Para perawat melakukan demonstrasi di Brasil untuk mengenang tenaga medis yang meninggal. [Getty Images/BBC]

Covid-19 di Brasil, Penanganan Tanpa Dukungan Politik

Di tengah terus meningkatnya kasus infeksi Covid-19 di Brasil dengan lebih dari 363.000, kedua tertinggi di dunia, para tenaga kesehatan di garis depan mengaku menghadapi situasi yang sulit untuk menghadapi berita palsu atau hoaks.

Di hari perawat yang dirayakan beberapa waktu lalu, Elaine Oliveira menggunggah fotonya yang sedang memakai pakaian pelindung di Instagram sambil meminta warga agar tetap di rumah saja.

Perempuan berusia 33 tahun ini terlalu lelah untuk bangun dari tempat tidur setelah semalaman bertugas di rumah sakit di Fortaleza, negara bagian Ceará di timur laut Brasil.

Ia juga sudah tak bertemu orang tuanya selama dua bulan terakhir. “Saya sedih sekali, sampai sakit rasanya,” kata Oliveira.

“Saat menulis ini, rekan-rekan kerja saya sedang bekerja keras di sisi tempat tidur pasien, berusaha menyelamatkan hidup mereka”.

“Saya tidak perlu tepuk tangan atau kata selamat. Saya perlu kalian tinggal di rumah untuk melindungi diri kalian sendiri, melindungi keluarga kalian, dan melindungi saya”.

Oliveira ingin sekali menyampaikan kata-kata itu untuk melegakan dadanya, katanya kepada BBC. Sudah beberapa waktu ini ia menyaksikan warga Brasil sengaja mengabaikan, bahkan mencemooh karantina yang dimaksudkan untuk melindungi penduduk dari Covid-19.

Khususnya pendukung Presiden Jair Bolsonaro yang terus mencoba meremehkan keseriusan penyakit ini. Mereka menyebarkan miskonsepsi dan mengorganisasi protes untuk melawan aturan jaga jarak.

“Di hari perawat, presiden negara saya malahan naik jet ski sambil bilang, ‘apa salahnya’?” kata Oliveira di Instagram.

“Korban ini bukan sekadar angka. Mereka manusia yang punya anak, orang tua, atau pasangan. Mereka juga ingin hidup”.

Angka Covid-19 di Brasil kini tertinggi ketiga di dunia, dengan jumlah sekitar seperempat juga positif, menurut Johns Hopkins University.

Namun banyak ahli memperkirakan angka sesungguhnya bisa lebih dari tiga juta.

“Saya bisa katakan Brasil telah menjadi pusat penyebaran wabah Covid-19 paling penting di dunia sekarang ini,” kata Domingos Alves, Profesor di Ribeirao Preto Medical School kepada BBC News Brasil.

Hingga tanggal 19 Mei, sekitar 18.000 orang meninggal dunia karena Covid-19, dan menurut Prof Alves, banyak yang terlaporkan dalam angka ini.

Di rumah sakit penderita Covid-19, banyak dokter dan perawat harus memilih siapa yang bisa diberi perawatan, serta siapa yang terpaksa harus mati tanpa pertolongan memadai.

Namun, Bolsonaro berkeras bahwa Covid-19 “hanya flu ringan”. Pemimpin sayap kanan ini ikut menghadiri demonstrasi anti karantina, bersalaman dengan pendukungnya bahkan berjanji mengadakan pesta barbekyu “untuk 30 orang” di tengah pandemi.

Saat ditanya wartawan ketika jumlah kematian Covid-19 melampaui angka 5.000, ia menjawab “memangnya kenapa? Sorry, saya tak bisa membuat keajaiban”.

Italo Lennon, ahli epidemologi yang melacak pandemi di kantor kesehatan negara bagian Ceara mengatakan situasi ini membuat moralnya “kempes”.

“Ketika ini dimulai, saya kira saya akan menggunakan keahlian saya. Saya pikir kami akan menghadapi pandemi yang sulit dan saya bisa membantu masyarakat,” kata Lennon kepada BBC.

“Rasanya seperti mendorong batu karang ke atas bukit”. “Kami harus memilih siapa yang hidup, siapa yang mati”

Jumlah kasus di negara bagian Ceará merupakan yang kedua di Brasil, sesudah Sao Paulo. Unit perawatan intensif sudah hampir penuh, sekalipun jumlah tempat tidur sudah digandakan di awal pandemi.

Oliveira bekerja di rumah sakit anak dan di unit gawat darurat, dan kewalahan dengan jumlah pasien Covid-19.

Unit ini diperuntukkan bagi pasien rawat inap jangka panjang, tapi kini tak ada tempat tersedia untuk pasien-pasiennya.

Pemerintah kota telah memasang kontainer berpendingin untuk menyimpan jenazah korban Covid-19. “Kami harus memilih siapa yang dipasangi ventilator, siapa yang tidak,” kata Oliveira.

Banyak pasien meninggal saat menunggu dan yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan hanya “merelakan mereka pergi dengan damai,” kata Oliveira.

Namun gawatnya situasi ini tidak dihargai oleh warga Brasil. “Banyak orang memilih tak percaya pada kenyataan,” kata Lennon.

“Warga mengabaikan aturan penjarakan, menolak memakai masker, dan ikut dalam kumpul-kumpul”.

“Kami dengar banyak pesta yang terjadi di rumah-rumah dan sebagainya,” kata Lennon.

“Kami mencoba meyakinkan warga bahwa masalahnya ada di mereka. Masalah terbesar kita adalah berita palsu”.

Awal bulan ini, Instagram mencabut satu unggahan dari anggota legislatif yang menyatakan bahwa jumlah kematian dibesar-besarkan oleh pihak berwenang untuk membuat orang takut.

Informasi ini dinyatakan palsu dan ditarik, tapi sesudah ikut disebarkan lebih dulu oleh Presiden Bolsonaro.

Bulan Maret 2020, Twitter dan Facebook menghapus unggahan presiden sesudah menyatakannya sebagai berita palsu.

Bulan lalu, beredar desas-desus di media sosial bahwa pihak berwenang di Kota Manaus mengubur peti mati kosong untuk membesar-besarkan jumlah kematian.

Padahal petugas kesehatan di kota itu kewalahan dengan Covid-19 dan menggunakan kuburan massal untuk memakamkan korban meninggal.

Pandemi ini telah menyebabkan krisis politik bagi pemerintahan Bolsonaro. Dalam sebulan ini, dua menteri kesehatan Brasil mengundurkan diri. Menteri yang kedua, Nelson Teich, mengundurkan diri sesudah berbeda pendapat dengan Presiden Bolsonaro soal penggunaan chloroquine untuk mengobari virus corona.

Seperti hanya Donald Trump, Bolsonaro juga mempromosikan chloroquine untuk mengobati Covid-19, sekalipun belum ada kajian yang membuktikan efektivitasnya.

Pendahulu Teich, Luiz Mandetta, dipecat sesudah bentrok dengan Bolsonaro soal aturan jaga jarak. Presiden mengatakan penutupan bisnis dan langkah karantina lain merupakan “kebijakan bumi hangus” lantaran dampaknya terhadap ekonomi.

Namun berbagai kota dan negara bagian mempertimbagkan untuk memperketat aturan itu di tengah pandemi yang terus memburuk.

Sao Paulo, kota terbesar di Brasil, bisa kehabisan tempat perawatan di unit gawat darurat dalam dua minggu ini, akibat Covid-19, menurut walikotanya Bruno Covas.

Covas menyerukan warganya agar berhenti berjudi dengan kematian, karena kebanyakan warganya mengabaikan aturan jaga jarak.

Perpecahan melanda hingga keluarga. Oliveira berkata ia berhenti bicara dengan empat saudaranya karena mereka mengikuti anjuran Bolsonaro.

Ia mengaku “sangat marah”, karena mereka tak peduli dan terus mengunjungi orang tua mereka yang sudah lanjut usia.

Bagi Oliveira pengkubuan politik dan pengingkaran hanya memperburuk keadaan. “Sedihnya, politik dipermainkan seperti sepakbola,” katanya.

“Jika bukan karena pengkubuan politik seperti ini, kita bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa”. [BBC/air]