https://images.hukumonline.com/frontend/lt5e4671d7bee66/lt5e4672519d357.jpg
Ilustrasi: HGW

Yurisprudensi tentang Janji Menikahi yang Patut Direnungkan di Valentine Day

by

Pasangan yang ingkar janji dapat dihukum membayar ganti rugi. Ingkar janji menikahi ditegaskan sebagai perbuatan melawan hukum.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Perkawinan adalah kelanjutan dari ungkapan rasa cinta antara dua orang yang bertujuan membangun keluarga dan melanjutkan keturunan. Orang yang memutuskan untuk melangsungkan perkawinan atau pernikahan adalah mereka yang sudah mengikatkan janji sebelumnya.

 

Banyak peribahasa yang menunjukkan pentingnya memegang janji. Sekadar contoh, ada peribahasa Melayu ‘kaki bertarung, inai padahannya’ yang bermakna seseorang harus berani menanggung akibat janji yang diucapkan; atau peribahasa ‘kaki terdorong badan merasa, lidah terdorong emas padahannya’ yang bermakna segala janji harus ditepati.

 

Menepati janji adalah satu hal. Pertanyaan normatifnya, apakah janji menikahi itu harus diucapkan secara jelas, tegas, dan tertulis? Bagaimana jika janji itu tidak ditepati pada waktunya, apakah ada akibat hukum yang timbul? UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (kini sudah direvisi dengan UU No. 16 Tahun 2019) memperkenalkan dan memungkinkan dibuatnya perjanjian pranikah (prenuptial agreement).

 

(Baca juga: Plus Minus Putusan MK tentang Perjanjian Perkawinan)

 

Pada Bagian 2 BW diatur pula mengenai acara mendahului perkawinan, yaitu pengumuman rencana perkawinan. Tetapi Pasal 58 BW juga menyinggung tentang janji-janji menikahi (promises to marry). Berdasarkan pasal ini janji-janji menikahi tidak menimbulkan hak menuntut ke pengadilan untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak ada hak menuntut biaya, gantgi rugi, atau bunga akibat ingkar janji menikahi. Boleh ada permintaan ganti rugi jika terbukti sudah ada pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan kepada petugas Kantor Catatan Sipil, yang diikuti pengumuman rencana perkawinan oleh Kantor Catatan Sipil.

 

Dalam praktik, sudah ada beberapa putusan pengadilan Indonesia yang berkaitan dengan tidak terpenuhinya janji menikahi. Setidaknya putusan-putusan berikut layak direnungkan.

 

Gagal Menikah karena Calon Ditolak Keluarga (1986)

Peristiwa ini terjadi di Nusa Tenggara Barat, dan masuk ke pengadilan hingga ke Mahkamah Agung. Putusan ini dibacakan majelis hakim agung pada 8 Februari 1986. Pada intinya, apa yang dipersoalkan di persidangan adalah tidak terlaksanakanya janji menikahi yang diucapkan oleh seorang laki-laki berinisial IGLR kepada seorang perempuan berinisial MDI.

 

IGLR menyatakan cintanya kepada MDI dan berjanji akan menikahi perempuan asal Lombok Tengah itu. IGLR bukan saja mendatangi sekolah tempat MDI mengajar, tetapi juga mengucapkan janji akan menjadikan MDI sebagai isterinya. Sebagai bukti cinta dan kasih sayang, IGLR menyerahkan kartu taspen, kartu pegawai, dan sepeda motor baru. Cinta dan kasih sayang keduanya tumbuh sampai diwujudkan dalam bentuk hidup bersama selama lebih dari setahun. Biaya hidup bersama itu banyak ditanggung oleh MDI.

 

Dalam perjalanan, IGLR didesak untuk menepati janjinya menikahi MDI. Janji tinggal janji, pernikahan tak pernah terjadi. Si pria beralasan ia akan dibuang keluarga jika menikah dengan MDI. Merasa janji menikahi itu tak ditepati, MDI memutuskan hubungan mereka dan membawa persoalan ini ke pengadilan. Ia meminta agar IGLR mengganti kerugian atas biaya hidup bersama yang telah dikeluarkan, dan jika ditotal hampir berjumlah Rp1,5 juta. MDI juga menuntut ganti rugi 5 juta rupiah atas pemulihan nama baik karena ia harus menanggung malu.

 

Pada 1984, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatan MDI. Dalam amarnya, majelis hakim menyatakan ‘tergugat tidak menepati janji untuk menikahi penggugat’, dan menghukum tergugat untuk membayar 2,5 juta rupiah sebagai pemulihan nama baik penggugat. Pada Juli 1984, Pengadilan Tinggi memutuskan mengabulkan banding IGLR. Majelis banding menyatakan menolak gugatan MDI seluruhnya.

 

Tetapi, dua tahun kemudian, putusan pengadilan kembali berpihak pada MDI. Majelis hakim agung membatalkan putusan banding, dan mengadili sendiri perkara tersebut. Majelis hakim agung menyatakan bahwa tergugat (IGLR) telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, dan oleh karena itu dibebani gantti rugi sebagai pemulihan nama baik sebesar 2,5 juta rupiah.

 

Ada beberapa pertimbangan hakim agung mengabulkan sebagian gugatan, sebagaimana dapat dibaca dalam putusan No. 3191 K/Pdt/1984. Pertama, saksi yang dihadirkan ke persidangan, yakni atasan IGLR sendiri, membenarkan bahwa IGLR telah berjanji untuk menikahi MDI. Tetapi lantaran ada penolakan keluarga terhadap perkawinan, maka IGLR tidak menepati janjinya. Kedua, berdasarkan bukti surat yang diajukan MDI ke persidangan, terungkap bahwa IGLR menyebut MDI sebagai isterinya sehingga menurut majelis ‘dapat disimpulkan tergugat asal berkeinginan untuk mengawininya’. Ketiga, tidak dipenuhinya janji menikahi berarti tergugat melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, dan itu adalah perbuatan melawan hukum. Keempat, tuntutan ganti rugi yang diajukan penggugat terhadap biaya yang dikeluarkan selama hidup bersama harus ditolak ‘karena tidak diperjanjian sebelumnya’.

 

https://images.hukumonline.com/frontend/2017/Redaksi/perkara_ingkar_janji_menikah_02.jpg

 

Ingkar Janji Menikahi, Melanggar Kesusilaan dan kepatutan (2003)

Berkenalan pertama kali melalui perantaraan seorang teman, HWN menaruh hati kepada WTW. Dua tahun setelah pertemanan itu, HWN menghubungi WTW melalui hubungan telepon dan menyatakan cintanya. Ia berniat sungguh-sungguh menjalin hubungan yang serius dengan WTW. Tidak hanya lewat telepon, HWN menyampaikan niatnya kepada orang tua si perempuan untuk menjalin hubungan asmara dan kelak menjadikan WTW sebagai isterinya.

 

Setelah itu, hubungan keduanya berjalan baik. HWN diperbolehkan tidur di rumah WTW karena jarak tempat tinggalnya jauh. Orang tua WTW beranggapan bahwa si pria beriktikad baik akan menikahi anaknya, sebagaimana janji yang pernah diucapkan. Dalam bujuk rayunya, HWN sering mengucapkan demi Allah tidak akan meninggalkan WTW. Bujuk rayu itulah yang akhirnya menjerumuskan keduanya untuk melakukan perbuatan layaknya suami isteri. Sementara itu, keluarga kedua pihak menyetujui hubungan asmara HWN-WTW.

 

Tetapi lambat laun, keluarga WTW merasa HWN memperlihatkan gelagat tidak baik. Setiap kali orang tua WTW menanyakan jadwal pernikahan, HWN menjawab tidak bisa berpikir dan meminta untuk tidak dihubungi lagi. Ia mengatakan bahwa tidak ada yang dapat memaksanya untuk menikahi WTW. HWN semakin menjauh, dan komunikasi akhirnya putus sama sekali. Inilah yang membuat WTW tidak terima. Upaya baik-baik menyampaikan masalah ini ke atasan langsung tidak digubris HWN. Melalui pengacara, WTW meminta HWN datang untuk membicarakan masalah ini baik-baik, tetapi tak digubris juga. Akhirnya, WTW menempuh jalur hukum. Ia meminta pengadilan menyatakan HWN telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam persidangan, HWN mengajukan gugatan balik (rekonvensi) karena menganggap penggugat konvensi mencemarkan nama baik.

 

Pada Oktober 1997, Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusan mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Majelis hakim menyatakan demi hukum bahwa tergugat tidak menepati janjinya untuk mengawini penggugat, oleh karena itu harus membayar kembali biaya yang pernah dikeluarkan penggugat untuk membiayai hidup tergugat selama tinggal bersama dengan penggugat tanpa ikatan perkawinan yang sah. Hakim mewajibkan tergugat membayar biaya sebesar 7,5 juta rupiah untuk biaya yang telah dikeluarkan, plus 10 juta rupiah untuk biaya pemulihan nama baik penggugat. Pengadilan Tinggi Surabaya menguatkan putusan ini.

 

Dalam putusan No. 3277 K/Pdt/2000, Mahkamah Agung menyatakan tidak dipenuhinya janji menikahi adalah pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, dan perbuatan demikian adalah perbuatan melawan hukum. Majelis hakim agung merujuk pada putusan terdahulu yaitu putusan MA No. 3191 K/Pdt/1984. Intinya, majelis menyatakan ingkar janji menikahi adalah perbuatan melawan hukum.

 

(Baca juga: Pernah Janji Menikahi Pacar? Hati-Hati Perangkap Onrechtmatigedaad)

 

Ingkar Janji Menikahi, Bayar 2 Juta Per Bulan (2011)

Putusan berikutnya yang layak direnungkan adalah perkara yang diputus Mahkamah Agung pada Agustus 2011. Peristiwanya terjadi di Papua, antara seorang pria berinisial DNA dengan perempuan berinisial ERC. Keduanya bertempat tinggal di distrik yang sama. Si pria bertugas sebagai aparat penegak hukum.

 

DNA dan ERC menjalin hubungan asmara sepengetahuan keluarga ERC. Bahkan DNA tinggal di rumah keluarga perempuan. Kasih sayang di antara keduanya begitu kuat sehingga dari hubungan itu lahir dua orang anak. Padahal keduanya belum terikat perkawinan yang sah. Keduanya memang berencana menikah. Bahkan si pria sudah mendapat izin menikah dari atasannya tertanggal 3 Maret 2008.

 

Sebelum pernikahan DNA-ERC terealisasi, terungkap bahwa pada Juli tahun itu, DNA menikah dengan perempuan lain. Merasa dirugikan, terutama secara psikologis, akhirnya ERC menempuh upaya hukum ke pengadilan. ERC menyatakan dalam gugatan bahwa ingkar janji menikahi telah membawa dampak buruk pada psikologinya. Apalagi dari hubungan asmara keduanya telah lahir dua orang anak. Bagaimanapun, anak-anak tersebut membutuhkan biaya hidup. ERC meminta pengadilan menghukum DNA membayar biaya hidup anak-anak tersebut, dan ganti rugi atas ingkar janji menikahi.

 

Pada Agustus 2019, Pengadilan Negeri Merauke menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Putusan banding dari Pengadilan Tinggi Jayapura membatalkan putusan tingkat pertama. Hakim banding mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Hakim banding menyatakan tergugat telah melakukan wanprestasi karena ingkar janji menikahi; dan menghukum tergugat membayar ganti rugi 100 juta rupiah.

 

Pada Agustus 2011, Mahkamah Agung memutuskan permohonan kasasi yang diajukan DNA. Salah seorang hakim agung yang memutus perkara ini adalah Artidjo Alkostar. Majelis hakim agung membatalkan putusan banding dan mengadili sendiri perkara ini. Dalam amarnya, hakim agung menghukum tergugat untuk membayar biaya nafkah dan pendidikan dua anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan perkawinan yang sah sebesar 2 juta rupiah per bulan hingga anak-anak tersebut berusia 18 tahun. Tergugat harus membayar biaya itu paling lambat tanggal 5 setiap bulan.