https://images.hukumonline.com/frontend/lt5e467b351c48b/lt5e467bef0f3ae.jpg
Ilustrasi pembahasan RUU. HGW

PSHK: RUU Cipta Kerja Langkah Mundur Reformasi Regulasi

by

DPR harus menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan sesuai mekanisme check and balances terhadap Presiden dan menyuarakan kepentingan publik yang kritis terhadap RUU Cipta Kerja. Sementara DPR mengaku siap menerima masukan semua elemen masyarakat saat pembahasan.

Pemerintah resmi menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada Rabu (13/2/2020) kemarin. Dari draf RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat berisi 15 bab, dan 174 pasal, dengan 79 UU terdampak. Namun, ironisnya tidak ada satu pun laman resmi pemerintah atau DPR yang menyebarluaskan draf ataupun naskah akademik RUU Cipta Kerja.

 

“Tidak tersedianya kanal resmi untuk mengakses RUU Cipta Kerja menjadikan ruang partisipasi publik tertutup,” ujar Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Rizky Argama saat dikonfirmasi, Jum’at (14/2/2020). Baca Juga: Pemerintah: RUU Cipta Kerja Murni Ciptakan Lapangan Pekerjaan

 

Dia menilai sikap pembentuk UU tersebut melanggar salah satu prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya asas keterbukaan. Terkait asas itu, Pasal 170 Perpres 87/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011 mengharuskan pemerintah dan DPR menyebarluaskan RUU sejak tahap penyusunan. 

 

“Partisipasi masyarakat merupakan hak yang dijamin Pasal 96 ayat (1) UU 12/2011,” kata dia.

 

PSHK melihat proses penyusunan draf RUU Cipta Kerja oleh pemerintah pusat hanya melibatkan segelintir elit, seperti kepala daerah dan asosiasi pengusaha. Mengingat RUU Cipta Kerja ini memiliki tingkat kompleksitas tinggi dan cakupan substansi amat beragam, seharusnya pemerintah sejak awal mengundang keterlibatan publik, terutama kelompok masyarakat yang akan menjadi pihak terdampak untuk memberikan masukan.

 

“Tak heran, kesan tertutup dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini mengakibatkan gelombang penolakan besar-besaran dari berbagai kelompok masyarakat,” sebutnya.  

 

Alih-alih mengubah pendekatan, pemerintah justru merespons dengan memposisikan kelompok pengkritik sebagai pihak yang menolak terciptanya kemudahan berusaha di Indonesia. Narasi publik yang disampaikan pemerintah dengan meminta aparat penegak hukum dan intelijen untuk melakukan pendekatan pada organisasi yang kritis pada RUU Cipta Kerja mengurangi kualitas diskusi yang terjadi di masyarakat.

 

Di sisi lain, lanjut Argama, DPR tidak menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan. Adanya gelombang penolakan publik justru tidak membuat DPR kritis terhadap pemerintah. Sebaliknya, sejumlah anggota DPR justru mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terkesan memberi “karpet merah” kepada pemerintah bahwa mereka akan segera mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.

 

Menurut PSHK, penyusunan RUU Cipta Kerja sebuah langkah mundur reformasi regulasi dengan beberapa indikator. Pertama, draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas pembentukan perundang-undangan yakni asas “kejelasan rumusan” dan asas “dapat dilaksanakan”. Misalnya, asas kejelasan rumusan dalam perumusannya, pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama, sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya.

 

“Mengingat pasal-pasal yang harus direvisi berasal dari 79 UU, seharusnya penyusun RUU Cipta Kerja menggunakan standar yang sudah diatur dalam UU No. 12/2011,” sarannya.  

 

Asas kedua yang berpotensi dilanggar adalah asas “dapat dilaksanakan”. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 173 RUU Cipta Kerja yang mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU yang sudah diubah oleh RUU Cipta Kerja harus disesuaikan dengan RUU Cipta Kerja dalam jangka waktu 1 bulan. “Melakukan perubahan peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun waktu 1 bulan sebuah mandat yang sama sekali tidak realistis,” kritiknya.  

 

Kedua, banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja ini (terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah) menunjukkan tidak sensitifnya pembuat undang-undang akan kondisi regulasi di Indonesia. “Jumlah peraturan pelaksana itu seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia mengalami hiper regulasi.”

 

Alih-alih menggunakan pendekatan omnibus sebagai momentum pembenahan, pemerintah sebagai pengusul justru semakin menambah beban penyusunan regulasi. Hal itu jelas kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang dilaksanakan presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan.

 

Ketiga, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan melanggar UU 12/2011. Terdapat dua pasal yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, Pasal 170 RUU Cipta Kerja mengatur Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-undang.

 

Hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang, sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang. Selain itu, Pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah. Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi.

 

“DPR harus menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan sesuai mekanisme check and balances terhadap Presiden dan menyuarakan kepentingan publik yang kritis terhadap RUU Cipta Kerja. Pengimbangan peran DPR menjadi kunci untuk mencegah sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden yang jika dibiarkan berlarut-larut akan menciptakan otoritarianisme.” Baca Juga: Mempertanyakan Pasal UU Terdampak dalam Omnibus Law

 

Terbuka terima masukan

Terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Willy Aditya mengakui RUU Cipta Kerja menuai hujan kritik dari masyarakat. Namun demikian, target 100 hari penyelesaian pembahasan RUU Cipta Kerja mesti direspon dengan semangat keseriusan untuk menghasilkan kualitas UU yang prima.

 

“Omnibus law RUU Cipta Kerja ini banyak sekali menerima reaksi negatif. Kawan-kawan serikat buruh curiga RUU ini akan banyak merugikan mereka. Lain lagi cerita aktivis lingkungan, mereka mengkritik karena akan merusak lingkungan dan banyak lagi kritiknya,” kata dia.

 

Setelah draf dan naskah akademik RUU Cipta Kerja diserahkan DPR, dia meminta anggota dewan dapat membaca dengan teliti dan cermat mempelajari sejumlah pasal. Selain itu, semua pihak dapat membaca dan mencatat pokok-pokok kritik serta perubahan yang diinginkan. Politisi Partai Nasdem ini memastikan semua pihak dilibatkan untuk didengar masukan dan aspirasinya agar dapat disuarakan secara berimbang.

 

Karena itu, pihaknya mengajak semua pihak berkepentingan agar menyiapkan catatan kritis dan masukannya. Dengan begitu, nantinya diharapkan dapat menghasilkan produk UU yang berkualitas dan paripurna. “Semuanya boleh menyiapkan catatan kritik dan masukannya, kami akan sangat terbuka menerimanya untuk disuarakan dalam pembahasan RUU ini,” katanya.