https://images.hukumonline.com/frontend/lt5e466f1fc768f/lt5e467054b1e62.jpg
Ilustrasi kerusakan lingkungan hidup. BAS

RUU Cipta Kerja dan Risiko Pengabaian Kerusakan Lingkungan Hidup

by

Penghapusan Izin Lingkungan tidak sesuai dengan sistem pengaturan pengelolaan lingkungan hidup dan justru menyulitkan pengawasan dan penegakan hukum.

Pemerintah telah menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta kerja kepada DPR RI pada Rabu (12/2). Berbagai aspek pengaturan termuat dalam draf tersebut seperti prosedur investasi, ketenagakerjaan dan perizinan. Pemerintah menginginkan kemudahan berusaha yang selama ini masih terhambat akibat tumpang tindih regulasi.

 

RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini setidaknya memuat 11 klaster, 15 bab, 174 pasal dengan 79 UU terdampak dan ditargetkan rampung dalam waktu 100 hari. Banyaknya materi yang dimasukkan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan singkatnya waktu tersebut, dikhawatirkan berisiko melemahkan penegakan hukum akibat investasi.

 

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring, mengkritisi muatan isi dalam rancangan aturan tersebut. Hal ini karena rancangan aturan tersebut berisiko melemahkan penegakan hukum terkait lingkungan hidup. Terlihat, dalam rancangan aturan tersebut yang menjadikan pendekatan berbasis izin menjadi pendekatan berbasis risiko maka Izin Lingkungan tidak lagi berlaku sebagai persyaratan Izin Usaha.

 

Raynaldo menilai penghapusan Izin Lingkungan tidak sesuai dengan sistem pengaturan pengelolaan lingkungan hidup dan justru menyulitkan pengawasan dan penegakan hukum.

 

“Di banyak negara, penerapan izin lingkungan bersamaan dengan instrumen standar kualitas lingkungan merupakan praktik yang lazim. Pengaturan lingkungan hidup mengandalkan standar yang terukur. Secara garis besar, standar lingkungan dapat dibagi menjadi dua, yaitu standar lingkungan yang ditetapkan pada media lingkungan misalnya kualitas udara atau air di wilayah tertentu dan standar yang ditetapkan pada sumber polusi (misalnya standar emisi, standar proses produksi dan standar produk,” jelas Raynaldo

 

Dia menjelaskan standar seharusnya ditentukan oleh pemerintah sebagai pedoman pengelolaan lingkungan hidup atau alat untuk menentukan apa yang boleh dilakukan oleh individu dan pelaku usaha.

 

Penetapan standar pada umumnya dianggap hanya sebagai tahap pertama dari keseluruhan pengelolaan lingkungan hidup. Untuk mencapai penaaatan pada standar tersebut ada beberapa perangkat yang dapat digunakan salah satunya adalah izin. Izin digunakan untuk mencegah pelanggaran terhadap standar lingkungan yang telah ditentukan.

 

Sehingga, tanpa izin lingkungan, pemerintah akan kesulitan untuk melakukan pengawasan dan menegakan hukum. Pengawasan merupakan salah satu cara untuk memastikan ketaatan. Izin lingkungan memudahkan tercapainya tujuan pengawasan karena pada saat Pemerintah memutuskan akan menerbitkan izin atau tidak,

 

“Apabila izin lingkungan dihilangkan, birokrasi untuk melakukan pengawasan berpotensi lebih rumit dan tidak terkoordinasi. Demikian halnya dengan data yang berpotensi sulit diakses karena tidak mudah diintegrasikan. Izin biasanya diperlukan terhadap kegiatan yang memerlukan pengawasan khusus,” jelasnya.

 

(Baca: Menyoal Kewenangan Presiden Batalkan Perda Kabupaten/Kota di RUU Cipta Kerja)

 

Selain penghilangan Izin Lingkungan, risiko pengabaian kerusakan lingkungan juga terlihat dari penghilangan sanksi pidana bagi pelanggaran izin. Hal ini akan memberi sinyal positif bagi pelaku usaha untuk memilih mengabaikan lingkungan hidup.

 

Menurut Raynaldo, pengaturan hukum pidana pada prinsipnya adalah mengatur suatu perbuatan yang berdasarkan norma sosial masyarakat adalah salah atau setidaknya bertujuan untuk mendorong terwujudnya norma sosial yang menyatakan perbuatan tersebut salah.

 

Dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ketentuan pidana terkait izin lingkungan berlaku bagi kegiatan usaha yang berpotensi besar merusak atau mencemari lingkungan namun tidak memiliki izin lingkungan atau tidak menjalankan sanksi administrasi.

 

Sehingga, pelanggaran terhadap izin sangat mungkin berdampak pada pencemaran dan kerusakan lingkungan, bahkan sangat mungkin pula berdampak pada kesehatan, kesejahteraan, dan mengancam nyawa masyarakat terdampak. Dengan demikian, penghapusan sanksi pidana bagi perbuatan pengabaian, perusakan dan pencemaran lingkungan sama saja dengan menganggap bahwa perbuatan tersebut bukan kesalahan.

 

“Dengan pemahaman demikian, pelaku usaha tidak akan menganggap perbuatan yang berpotensi merusak dan mencemari lingkungan tersebut sebagai kesalahan. Konsekuensinya, pelaku usaha akan abai terhadap upaya-upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan serta perlindungan lingkungan hidup,” jelas Raynaldo.

 

Selain itu, sanksi pidana terhadap perusakan dan pencemaran lingkungan hidup dibutuhkan karena ada beberapa kondisi di mana hanya melalui sanksi pidana, biaya (dalam arti luas tidak terbatas moneter) yang harus dikeluarkan pelaku usaha dan pemerintah dalam menanggung konsekuensi bisa lebih besar daripada kerugian yang diakibatkan. Dengan demikian, tujuan memberi efek jera lebih bisa tercapai.

 

Tanpa ancaman sanksi pidana, pelaku perusakan atau pencemaran akan secara tidak langsung mendapat ‘insentif’ untuk melakukan pelanggaran sementara pihak yang punya itikad baik untuk patuh atau lebih dari patuh akan berpikir untukmenurunkan kualitas kepatuhannya.

 

Jika sampai terjadi demikian, dampak negatif bagi lingkungan akan ditanggung oleh masyarakat dan negara sehingga berpotensi menghambat pembangunan. Sebaliknya, pihak yang senantiasa taat akan mendapat ‘disinsentif’ karena akan terus mengeluarkan biaya lebih untuk patuh dibandingkan pihak yang tidak taat.

 

ICEL sendiri telah membuat catatan terhadap RUU Cipta Kerja. Catatan ICEL yang dipublish pada 13 Februari tersebut bertujuan menjelaskan kepada publik mengenai isi dari RUU dan cara memahami dengan cepat masalah, potensi masalah atau bahkan peluang yang ada.  

 

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan tidak benar Analisis mengenai Dampak Lingkungan akan dihapus dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law inisiatif pemerintah.

 

Ia menjelaskan aspek lingkungan hijau tetap akan dibahas secara seksama dengan penetapan standar lingkungan, yang menurutnya bagian dari penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (amdal).

 

"Jadi tidak benar kalau amdalnya mau dihapus (dengan Omnibus Law)," ujar Siti Nurbaya saat ditemui sedang mendampingi Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan Surat Presiden terkait RUU Omnibus Law Ciptaker di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Rabu (12/2) lalu.

 

Menurutnya, standar lingkungan akan diatur pemerintah agar pemerintah mempunyai daya paksa (enforce) untuk mempersoalkan dampak lingkungan yang rusak oleh proyek industri. Dia mengatakan jika ada proyek industri skala sedang atau menengah pun akan tetap menggunakan standar yang sedang disusun untuk ditetapkan juga melalui peraturan pemerintah.