Kisah kakek Muslim yang memakamkan dan mengkremasi ribuan jenazah yang tak terurus
by BBC"Suatu hari saya lihat polisi melempar jenazah ke sungai. Saya ketakutan," kata Mohammad Shareef.
"Sejak itu saya bertekad untuk menjadi penjaga dari jenazah yang tak terurus, dan saya akan beri penghormatan terakhir yang pantas untuk mereka".
Selama 28 tahun, Shareef memegang tekad itu demi mengenang anaknya yang tewas dalam kerusuhan Hindu-Muslim dan jenazahnya tak pernah ditemukan.
Mohammad Shareef, 80 tahun, yang dikenal dengan sebutan Chacha (Paman) ini, bicara kepada BBC mengenai misi hidupnya.
Pemakanan dan kremasi
Ia tak ingat berapa persisnya pemakaman yang sudah ia lakukan. Kepala daerah Ayodhya, Anuj Kumar Jha, mengatakan mereka tak punya catatan berapa jenazah yang diurus Shareef.
"Perkiraan kasar kami, sekitar 2.500 jenazah yang kami berikan kepadanya untuk diurus," katanya.
- Kiprah para milenial yang mendirikan bisnis start-up pemakaman
- "Pemakaman massal anak-anak" ditemukan di Peru
- Suku di Filipina yang menggantung peti mati di tebing
Keluarga Shareef mengatakan ia telah merawat lebih dari 5.500 jenazah, tapi media-media India menyebut angka yang lebih tinggi, 25.000 jenazah.
Jenazah-jenazah tak terurus ini penyebabnya bermacam-macam, bisa dari kecelakaan di jalan, orang yang meninggal di perjalanan seperti peziarah, imigran dan orang tua yang diabaikan keluarganya.
Ada pula pasien miskin yang tak mati di rumah sakit tanpa ada yang memakamkan.
Pihak berwenang menggunakan jasa organisasi non pemerintah dan sukarelawan seperti Shareef untuk mengurusi jenazah seperti itu.
Tak banyak orang berterima kasih kepada Shareef sampai namanya muncul sebagai calon penerima penghargaan nasional yang bergengsi.
Bagi Paman Shareef, penghargaan ini seperti puncak dari perjalanannya yang tak kenal lelah.
Anak yang hilang
Shareef dibesarkan oleh kakek neneknya yang tak mampu menyekolahkannya.
Sejak muda ia sudah bekerja memperbaiki sepeda. Di awal usia 50-an ia jadi pekerja sosial karena tragedi pesonal yang dialaminya.
"Sejak anakku hilang, aku cari dia di mana saja selama sebulan. Seperti orang gila".
Kerusuhan Hindu-Muslim
Anak Shareef, Mohammad Rais, 25 tahun, tewas saat kerusuhan Hindu-Muslim tahun 1992 yang mengguncang kota Ayodhya dan seluruh India.
"Kata polisi badannya sudah membusuk. Kami tak pernah melihat jenazahnya. Hanya sisa pakaiannya".
Kelompok Hindu fundamentalis yang dipimpin oleh Partai Bharatiya Janata yang kini berkuasa pada bulan Desember 1992 menghancurkan mesjid Ayodhya yang dibangun abad ke-16.
Ini memicu konflik berdarah yang menewaskan ratusan orang tak bersalah.
Di mana jenazah anakku?
Bahkan hingga kini Shareef tak yakin dimana, bagaimana dan siapa yang membunuh anaknya.
"Mungkin jenazah anakku dilempar ke sungai seperti jenazah lainnya," kata Shareef.
Saat itu tak banyak fasilitas pengurusan jenazah di India. Membuang jenazah yang tak diakui merupakan praktek lazim.
Pemakaman merupakan metode pengurusan ideal, tetapi membuang jenazah ke sungai dianggap lebih murah dan mudah.
"Saya mencari anak saya selama sebulan, sampai ke kota tetangga Sultanpur."
Keluarga Shareef menduga jenazah Rais dilempar ke Sungai Gomti yang jaraknya sekitar 50 km.
Kematian Rais membuat ibunya depresi hingga hari ini. Ini diperburuk karena mereka tak bisa memakamkan anak mereka dengan layak.
Tekad
Karena peristiwa itu Shareef bertekad untuk memberi penghormatan pada jenazah-jenazah tak terurus.
"Saya bertekad, tak boleh ada jenazah dilempar ke sungai di kota saya," katanya.
Ia menyatakan tekadnya itu kepada polisi, dan ketika menerima telepon pertamakali, hatinya berdebar.
"Polisi meminta saya mengambil jenazah yang selesai diotopsi. Saya ingat betul leher jenazah itu tersayat".
Tak lama, kerjanya makin banyak dan ia sampai perlu membeli kereta dorong untuk mengangkut jenazah.
'Sudah gila'
Mudah diduga keluarga, teman dan tetangganya tak suka pada obsesi Shareef.
"Mereka bilang saya sudah gila."
Biasanya hanya orang-orang dari kasta terendah Hindu yang dipaksa mengurus pemakaman atau kremasi.
Meskipun Shareef seorang Muslim, ia tetap dikucilkan.
"Banyak yang takut. Mereka pikir akan terkena infeksi kalau bersentuhan dengan saya," kata Shareef.
Namun Shareef bergeming. Ia tak menghadiri pernikahan, perayaan, bahkan kegiatan berjamaah demi jenazah-jenazah tak terurus ini.
Pekerjaannya ini mendatangkan kedamaian dan jadi pelipur lara.
"Ini mengurangi rasa sedih akibat kematian anakku."
Ketika menjalankan upacara mengurus jenazah, ia sering teringat pada anaknya.
"Saya selalu terkenang padanya. Saya rindu padanya".
Memandikan dan mendoakan
Biasanya ia memandikan jenazah sebelum kremasi dan pemakaman. Jika jenazah itu Muslim, ia membungkus dengan kain kafan dan melakukan salat jenazah.
Jika jenazah itu Hindu, ia melakukan kremasi di tempat berjarak 4 km dari rumahnya.
"Setiap kali polisi menghubungi saya soal jenazah, saya akan langsung bergegas datang".
Jenazah yang diabaikan
Biasanya Shareef mendapat jenazah beberapa hari atau beberapa minggu setelah kematian.
Polisi berusaha sedapat mungkin mengidentifikasi, tetapi jika tak ada yang mengakui maka jenazah itu dibuang. Terkadang dalam keadaan membusuk.
"Polisi sering ikut juga ke pemakaman. Tapi biasanya mereka berdiri agak jauh".
Shareef mengatakan tak pernah menghindar jenazah sepeti apa pun. Namun ia tetap menderita melihat jenazah yang membusuk dan bau yang menyengat.
"Setiap melihat tubuh termutilasi atau membusuk, saya susah tidur. Sering mimpi buruk dan akhirnya minum obat tidur".
Menurutnya, ia bertahan karena keimanan dan penghargaan yang diterima dari masyarakat sekitar.
Orang memuji perbuatan saya ini. Kata mereka, saya menghormati jenazah-jenazah itu layaknya anggota keluarga sendiri".
Meski begitu, puji-pujian ini tak pernah berubah jadi uang.
Berjuang sendiri
Selama hampir sepuluh tahun Shareef berjuang sendiri. Tak ada LSM maupun pemerintah yang memberi bantuan keuangan.
Pemilih toko setempat memberinya sekitar Rp2 juta untuk biaya sehari-hari. Ia kini punya dua asisten yang bisa ia bayar untuk berbagi pekerjaan.
"Baik Hindu maupun Muslim membantu saya. Orang-orang memberi makanan dan selimut hangat. Baru-baru ini, saya harus operasi mata, ada orang yang tak saya kenal menelepon dan memberi saya 20.000 rupee (Rp3,8 juta)".
Tiada penerus
Kondisi fisik Shareef mulai lemah, dan ia tak punya penerus. Baik anak-anak maupun cucunya tak mau.
"Tak ada yang mau terlibat dengan pekerjaan saya ini."
Shareef masih meneruskan usaha bengkel sepedanya. Sehari ia dapat sekitar Rp40.000. Penghargaan pemerintah itu tak akan membantu keuangannya, tapi ia senang upayanya diakui.
Namun ia tak bisa mengundurkan diri dengan tenang karena ia tahu apa yang bakal terjadi.
"Kalau saya tak ada, polisi akan kembali melemparkan mayat ke sungai".
Shareef tak bisa menerima hal itu.
"Saya akan terus lakukan hal ini sampai napas penghabisan," katanya.