https://images.hukumonline.com/frontend/lt5e33eadb79653/lt5e33eb609b1fe.jpg
Ilustrasi eksekusi jaminan fidusia akibat cidera janji. Ilustrator: HGW

Pasca Putusan UU Jaminan Fidusia, Simak Aturan Debtcollector di Beberapa Negara

by

Pengadilan perlu menyiapkan diri menerima permohonan eksekusi. Perlu ada pedoman teknis eksekusi hingga profesionalitas jasa debt collector.

Apa saja dampak yang akan terjadi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ‘kekuatan eksekutorial’ atas jaminan fidusia? Secara final dan mengikat MK mengubah aturan main eksekusi jaminan fidusia lewat Putusan No. 18/PUU-XVII/2019. Tidak ada jalan mundur karena tafsir sudah diberikan.

Bagi mereka yang berada pada posisi debitor, putusan Mahkamah Konstitusi itu mungkin  menjadi solusi atas problem hak konstitusional. Mekanisme izin eksekusi dari pengadilan melindungi hak mereka dari kesewenang-wenangan cara penagihan atau penarikan. Bagi pelaku usaha pembiayaan selaku kreditor, putusan itu tentu sebagai hambatan baru dalam berbisnis. Tidak mudah lagi bagi mereka untuk mengurangi risiko kerugian.

Namun, jika ditelisik lebih jauh putusan Mahkamah bukan tanpa imbas ke pengadilan. Jika setiap penarikan benda jaminan akibat cidera janji harus melalui pengadilan, maka pengadilan berpotensi kebanjiran permohonan eksekusi jaminan fidusia. Transaksi pembelian kendaraan bermotor melalui perusahaan pembiayaan terbilang banyak. Ini berarti pengadilan negeri harus siap menerima permohonan eksekusi atas jaminan fidusia dari perusahaan pembiayaan.

MK secara jelas menetapkan hal itu dalam putusannya. “….terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitor keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

Ada dua syarat kumulatif yang disebutkan. Pertama, tidak ada kriteria wanprestasi yang disepakati kreditor dan debitor dalam isi perjanjian mereka. Kedua, debitor enggan objek jaminan fidusia disita kreditor. Pengadilan menjadi penengah untuk memberikan izin eksekusi saat syarat-syaratnya terpenuhi.

(Baca juga: Peta Pandangan Para Pihak Sebelum Putusan MK tentang Jaminan Fidusia).

Siapkah pengadilan menerima pekerjaan ekstra? Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima 1.871 aduan sepanjang tahun 2019. Tercatat pengaduan konsumen produk jasa finansial mencapai 46,9 persen yang meliputi komoditas bank, uang elektronik, asuransi, leasing (sewa guna usaha), dan pinjaman daring.

Komoditas leasing adalah bisnis dari perusahaan pembiayaan. Para debitor dianggap YLKI sebagai konsumen karena sejak awal berniat membeli secara angsuran. Maka dalam ribuan aduan tersebut termasuk pula debitor jaminan fidusia yang menuntut keadilan. Jumlah yang tidak tercatat mungkin lebih banyak.

Bagaimana pengadilan akan menilai permohonan ekseksusi dalam jumlah yang sangat banyak dengan seadil-adilnya? Sementara itu tumpukan perkara yang kian menggunung di pengadilan sudah menjadi rahasia umum. Lambatnya penanganan perkara di pengadilan juga sudah menjadi stigma oleh publik.

Perlu Pedoman Eksekusi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang sudah mewajibkan perusahaan pembiayaan memiliki pedoman internal mengenai eksekusi. Bahkan OJK berwenang mengawasi serta mengoreksi pedoman tersebut. Jika tidak patuh, OJK bisa menjatuhkan sanksi hingga yang terberat berupa pencabutan izin usaha.

Kewajiban itu dituangkan dalam Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Peraturan ini berlaku sebelum putusan MK dijatuhkan. Nampaknya iktikad baik peraturan ini terhadap debitor terganjal pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJaminan Fidusia) yang dipersoalkan.

(Baca juga: Menagih Utang dengan Cara Intimidasi? Pelajaran Penting dari Dua Putusan Pengadilan).

Faktanya perusahaan pembiayaan lebih sering memanfaatkan kesaktian ‘kekuatan eksekutorial’ dalam UU Jaminan Fidusia. Para pegawai penagihan (debt collector) dikirim untuk menaklukkan debitor dengan segala cara. Apalagi salah satu pasal Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 ternyata menyerahkan teknis eksekusi wajib sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur agunan. Dalam hal ini memanfaatkan kesaktian ‘kekuatan eksekutorial’ jaminan fidusia menjadi sah dilakukan kreditor.

Perlu dicatat bahwa pengadilan pernah berupaya meluruskan pelaksanaan ‘kekuatan eksekutorial’ sebekum putusan MK dijatuhkan. Pada Oktober 2013, Mahkamah Agung pernah menghukum bank dan pihak lain yang digugat. Para tergugat dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum ketika melakukan penagihan kredit dengan cara-cara teror dan intimidasi. Sanksi dijatuhkan untuk membayar secara renteng ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp1 miliar.

Isi pertimbangan majelis hakim kasasi yang memutus perkara No. 3192K/Pdt/2012 itu tegas berbunyi, “Bahwa tindakan Tergugat I dalam melakukan penagihan kredit adalah tindakan tidak profesional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme daripada pendekatan lain yang mendudukkan nasabah sebagai partner bank, dan oleh karena itu adalah layak dan adil apabila Tergugat dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat yang lebih berat”.

Setelah putusan Mahkamah Agung, muncul putusan Mahkamah Konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi perlu ditindaklanjuti para pemangku kepentingan. Perlu ada perbaikan regulasi agar sejalan dengan pandangan Mahkamah. Misalnya, pedoman eksekusi. Apalagi saat ini melibatkan izin pengadilan untuk eksekusi. Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 terbukti tidak efektif sampai akhirnya ada debitor yang mencari keadilan hingga ke MK.

Sangat mungkin persoalan ada pada pengawasan OJK. Perintah OJK agar teknis eksekusi agunan wajib sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur agunan menjadi dasarnya. Perusahaan pembiayaan merasa yakin selama ini telah menjalankan sesuai UU Jaminan Fidusia. Kini MK telah menyatakan ada kesalahan pada norma UU Jaminan Fidusia.

Menarik untuk diingat bahwa dalam UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHak Tanggungan) ada ketentuan serupa ‘kekuatan eksekutorial’. Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak

Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Tak ada kejelasan bagaimana penilaian wanprestasi yang dimaksud dalam pasal 6 UU Hak Tanggungan tersebut.

Profesionalitas Debt Collector: Perbandingan

Hal lain yang menjadi perhatian adalah para debt collector. Mereka adalah pihak yang biasa ditugasi kreditor sebagai pelaksana eksekusi jaminan fidusia. Biasanya adalah jasa pihak ketiga yang disewa kreditor. Sayangnya debt collector ini kerap kali tercatat melakukan tindak sewenang-wenang atas nama kreditor.

Kekerasan dan intimidasi yang melanggar hukum juga terjadi seperti perkara yang diputus Mahkamah Agung pada tahun 2013. Padahal Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 juga sudah pernah memberikan aturan kualifikasi fungsi penagihan dan eksekusi.

Pasal 65 ayat (5) Peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 menyebutkan pegawai dan/atau tenaga alih daya Perusahaan Pembiayaan yang menangani fungsi penagihan dan eksekusi agunan wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.

OJK bisa menjatuhkan sanksi sampai dengan pencabutan izin usaha jika perusahaan pembiayaan membangkang. Penggunaan debt collector yang tidak memenuhi kualifikasi profesi adalah pelanggaran. Sayangnya tak ada ketentuan lanjutan mengenai kualifikasi dan standar kerja profesi  debt collector yang dibuka ke publik. Hanya disebutkan bahwa Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan itu harus terdaftar di OJK.

Sebagai pembanding, patut disimak bagaimana negara-negara lain mengatur soal kerja penagihan oleh profesi debt collector. Misalnya Amerika Serikat yang memiliki The Fair Debt Collection Practices Act (FDCPA) sejak tahun 1977. Undang-undang ini mengatur secara jelas kebolehan dan larangan bagi debt collector.

Penelusuran hukumomline menemukan aturan penagihan berdasarkan FDCPA hanya dibolehkan pada jam tertentu. Dilarang melakukan tindakan yang mengancam atau mempermalukan. Juga keharusan memberikan penjelasan hak-hak debitor jika ingin menempuh prosedur sengketa hukum. Masih ada serangkaian pedoman rinci lainnya yang harus dipatuhi dalam upaya kreditor menagih haknya.

Sementara itu Financial Conduct Authority (FCA)atau entitas serupa OJK di Inggris Raya secara detil mengontrol jasa agensi debt collector. Metode yang digunakan harus memenuhi standar hukum dan etis yang diawasi FCA.

Jerman pun menerapkan standar yang ketat dalam proses penagihan dengan jasa debt collector. Berdasarkan German Civil Code yang berlaku, setiap agensi wajib mematuhi rincian ketentuan etis dalam penagihan. Jika tidak berhasil menagih dengan damai, kreditor atau debt collector harus menempuh prosedur jalur pengadilan. Oleh karena itu Jerman memungkinkan advokat menawarkan jasa penagihan dengan kualifikasi tertentu.

Negara tetangga Thailand bahkan telah memiliki The Debt Collection Act sejak tahun 2015. Pengawasan atas pekerjaan debt collector dilakukan The Debt Collection Supervisory Committee. Thailand juga memungkinkan advokat menawarkan jasa penagihan dengan kualifikasi tertentu.

Negara-negara tersebut telah serius mengelola pekerjaan debt collector dengan standar profesional. Bahkan debt collector menjadi profesi yang memiliki kode etik. Tafsir MK mengenai eksekusi jaminan fidusia tampak menjadi momen yang tepat untuk menata kerja debt collector di Indonesia. Tidak hanya soal penagihan jaminan fidusia, namun semua urusan piutang di berbagai transaksi komersial.