https://www.hidayatullah.com/files/bfi_thumb/Presiden-Joko-Widodo-Jokowi-KH-Maruf-Amin-by-Syakur-39jufcorhaaljpvno9r94w.jpg
muh. abdus syakur/hidayatullah.com

100 Hari Jokowi Bidang Kesehatan: Problem BPJS dan Ironi Tenaga Medis

Selain persoalan defisit anggaran, masyarakat juga masih banyak yang mempersoalkan data kepesertaan BPJS Kesehatan

Hidayatullah.com- Wakil Ketua Fraksi PAN di DPR RI yang juga anggota Komisi IX, Saleh Partaonan Daulay, memaparkan catatan kritisnya terhadap 100 hari kepemimpinan Presiden Joko Widodo – Wakil Presiden Ma’ruf Amin, khususnya di bidang kesehatan.

Ia menjelaskan, pada awal periode, Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa ada tiga program utama pemerintah dalam bidang kesehatan.

Ketiga program itu adalah JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), penurunan angka stunting, dan pemenuhan obat-obatan serta alat kesehatan. Walau kelihatan sederhana, ketiga program itu tidaklah mudah untuk dikerjakan. Perlu kerja keras dan kesungguhan dari semua pihak yang terkait.

Dalam bidang JKN, diketahui bahwa masih terdapat defisit anggaran yang cukup besar. Pada akhir tahun 2019, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 32 triliun. Angka ini tidak sedikit dan tentu saja kata Saleh, menyulitkan pemerintah.

“Di tengah kontroversi defisit tersebut, pemerintah mengambil kebijakan yang dinilai kurang populer dengan menaikkan iuran BPJS bagi seluruh kelas. Kenaikannya tidak tanggung-tanggung. Mencapai 100 persen. Ini tentu sangat menyulitkan masyarakat. Apalagi, ada 19,9 juta orang warga negara Indonesia yang pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Mereka tentu sangat kesulitan dengan adanya kenaikan itu,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya diterima hidayatullah.com, Jumat (31/01/2020).

Selain persoalan defisit anggaran, masyarakat juga masih banyak yang mempersoalkan data kepesertaan BPJS Kesehatan. Terutama data peserta penerima bantuan iuran (PBI). Pasalnya, banyak di antara mereka yang merasa layak, tetapi kenyataannya tidak masuk dalam data PBI. Begitu pun sebaliknya, banyak di antara peserta PBI itu yang tidak layak, tetapi dimasukkan. Tidak jarang ini menyebabkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat.

Masih menurut Saleh, persoalan yang terkait BPJS kesehatan yang lain adalah pelayanan. Adalah fakta belaka bahwa banyak masyarakat yang masih berkeluh kesah dengan pelayanan yang diberikan. Ada yang mengaku merasa dinomorduakan. Ada yang merasa pelayanannya tidak sebaik yang diberikan pada peserta non-BPJS. Ada juga yang mengatakan bahwa sistem rujukan yang diterapkan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan.

Sementara itu, program penurun stunting dinilai masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Penelitian menyimpulkan bahwa masih banyak anak yang divonis stunting. Tidak hanya di Indonesia Timur dan daerah terpencil, tetapi juga di kota besar di wilayah Indonesia Barat.

“Saya melihat bahwa program penanganan stunting belum terkoordinasi secara integratif. Mestinya ini dikerjakan secara bersama oleh pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu, ada tanggung jawab semua pihak dalam perang melawan stunting ini,” ujarnya.

Begitu juga pengadaan obat dan alat kesehatan. Pemerintah dinilai masih belum mampu memenuhi kebutuhan obat dan alkes secara memadai. Terbukti, banyak RSUD yang tidak bisa menerima pasien dikarenakan peralatannya tidak cukup.

“Kadang-kadang peralatannya lengkap, tetapi dokternya tidak ada. Ada juga yang dokternya ada, tetapi peralatannya tidak ada,” imbuh mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammdiyah ini.

Mengenai ketersediaan tenaga medis, ini juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Indonesia secara umum masih kekurangan dokter-dokter spesialis dan sub-spesialis. Sementara, penderita penyakit katastropik semakin banyak dan perlu ditangani oleh dokter spesialis atau sub-spesialis.

“Konsekuensinya, rumah-rumah sakit sering merujuk ke rumah sakit lainnya. Akibatnya, ada pasien di rumah sakit tertentu yang harus mengantre setahun lebih sebelum diambil tindakan. Inikan sangat ironis,” ungkapnya.

Dalam konteks ini, Saleh menilai bahwa pemerintah sudah sewajarnya bekerja keras dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga medis. Terutama kebutuhan tenaga medis di daerah terpencil dan perbatasan.

“Diperlukan dokter-dokter yang rela mengabdi di daerah terpencil atas dasar prinsip kemanusiaan,” pungkasnya.*