https://images.hukumonline.com/frontend/lt5e33ddd1059a5/lt5e33df1ba7491.jpg
Ilustrasi: HGW

Dua Lembaga Ini Kesulitan Akses Naskah RUU Cipta Lapangan Kerja

by

Kedua lembaga ini mengingatkan pemerintah agar penyusunan RUU Cilaka ini didasarkan keterbukaan dan partisipasi publik untuk menjaring masukan berbagai elemen masyarakat.

Program pemerintah melakukan penyederhanaan regulasi melalui metode omnibus law terus mendapat sorotan tajam bukan hanya dari kalangan masyarakat sipil, tapi juga lembaga/komisi negara seperti Ombudsman RI dan Komnas HAM RI. Kedua lembaga ini turut merasa terpanggil atas isu yang berkembang seputar materi muatan RUU Omnibus Law, terutama RUU Cipta Lapangan Kerja.   

 

Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan pihaknya sampai saat ini secara resmi belum pernah menerima draft omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja. Baginya, Ombudsman sebagai salah satu lembaga pengawas eksternal berkepentingan untuk memberi masukan kepada pemerintah terkait RUU Cipta Lapangan Kerja.

 

Tentunya, kata dia, sebelum memberikan masukan, Ombudsman harus mempelajari dulu draft RUU Cilaka. Dia mengaku pada Desember 2019, Ombudsman sudah melayangkan surat kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk meminta draft RUU Omnibus Law yang dimaksud. Sayangnya, niat baik itu tidak mendapat respon positif sesuai yang diharapkan.

 

“Pada intinya (surat jawaban, red) Kemenko Perekonomian menolak memaparkan draft RUU itu dengan alasan draft belum disetujui Presiden dan belum ada arahan dari Menteri,” kata Alamsyah dalam diskusi publik di kantor Komnas HAM Jakarta, Kamis (30/1/2020). Baca Juga: Pemerintah Janjikan Beberapa Hari Lagi Publik Dapat Akses RUU Omnibus Law

 

Menanggapi surat balasan tersebut, Alamsyah mencatat baru kali ini Ombudsman mendapat jawaban seperti itu dari kementerian/lembaga negara. Jika seperti ini, Alamsyah  berkesimpulan pemerintah harus menanggung seluruh risiko yang muncul akibat kebijakan omnibus law ini. Dia tidak mengetahui bagaimana proses penyusunan omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja, apakah melibatkan banyak pihak atau tidak.

 

“Tapi yang jelas sampai saat ini belum ada pembahasan secara terbuka mengenai penyusunan RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja).”  

 

Alamsyah mengingatkan sebuah kebijakan yang disusun dan diterbitkan secara terburu-buru berpotensi menimbulkan risiko besar. Apalagi ada informasi yang menyebut pihak yang menyusun RUU Cipta Lapangan Kerja harus menandatangani perjanjian untuk tidak menyebarkan draft tersebut kepada publik. “Draft RUU itu termasuk informasi publik,” ujarnya mengingatkan.

 

Dia merujuk UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbarui lewat UU No.15 Tahun 2019 menyebutkan penyusunan peraturan harus melibatkan partisipasi publik. Partisipasi publik ini penting untuk menjaring masukan dari berbagai pihak. “Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak membuka draft RUU karena draftnya belum dibahas bersama DPR,” ujarnya.

 

Minimnya partisipasi publik

Senada, Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam mengkritik minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja ini. Menurutnya, publik harus dilibatkan karena RUU ini bakal berdampak terhadap banyak sektor, bahkan menyangkut tata kelola negara. Pemerintah menganggap omnibus law sebagai “obat mujarab” yang dapat menyelesaikan semua persoalan.

 

Menurut Anam, kebijakan RUU Omnibus Law ini harus dikaji terlebih dulu apakah perspektifnya berbasis HAM atau tidak? Sama seperti Ombudsman RI, Anam mengaku lembaganya sampai saat ini juga belum dapat mengakses draft RUU Cipta Lapangan Kerja secara resmi. “Malah ada informasi yakni pihak menyebarkan draft RUU diancam, ini jelas bertentangan dengan konstitusi dan HAM,” tegasnya.

 

Anam melihat omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja ini akan menyentuh sejumlah sektor, terutama ketenagakerjaan dan agraria. Dia merasa sangat berkepentingan dengan RUU Cilaka ini karena dua sektor itu masuk dalam pengaduan yang paling banyak dilaporkan masyarakat ke Komnas HAM. Anam mengingatkan konstitusi mengatur asas keterbukaan dan partisipasi, amanat ini harus tercermin dalam pembahasan setiap penyusunan peraturan oleh pemerintah.

 

“Pembahasan kebijakan melalui UU tujuannya agar kekuasaan tidak bersifat totaliter karena prosesnya harus melewati uji publik, seharusnya masyarakat dilibatkan sejak tahap perencanaan,” tegasnya.

 

Dia khawatir pembahasan regulasi yang tidak terbuka, seperti omnibus law ini hasilnya akan mengancam konstitusi. Jangan sampai RUU Cipta Lapangan Kerja ini, pembahasannya seperti RUU KPK yang sudah terkonsolidasi sejak awal sehingga pemerintah dan DPR tinggal mengesahkannya. Ditegaskan Anam, seluruh pihak harus dilibatkan dalam penyusunan dan pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja, terutama kelompok yang terdampak langsung seperti buruh.

 

“Pembahasan harus melibatkan semua pihak, jangan hanya dari kalangan pengusaha, investor, dan pemilik modal saja yang diajak,” kritiknya.

 

Sebelumnya, pemerintah berjanji akan membuka akses bagi publik setelah proses pembahasan selesai dan draf RUU Omnibus Law diserahkan ke DPR. Janji akan membuka akses itu disampaikan Deputi Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet Satya Bhakti Parikesit dalam diskusi dengan komunitas hukum di Jakarta, Selasa (28/1/2020) kemarin. Baca Juga: Pemerintah Janjikan Beberapa Hari Lagi Publik Dapat Akses RUU Omnibus Law

 

Satya menyatakan RUU Cipta Lapangan Kerja sudah final disepakati sebelas menteri. RUU Cipta Lapangan Kerja akan dikirim ke DPR dan dapat diakses publik dalam minggu ini. “Dalam dua atau tiga hari lagi rencananya sudah bisa diakses publik,” kata Bhakti dalam diskusi dan sosialisasi RUU Cipta Lapangan Kerja bersama advokat, corporate counsel, notaris, akademisi hukum, dan peneliti hukum.

 

Bhakti menampik tudingan bahwa pemerintah tidak transparan dalam pembahasan RUU yang menggunakan pendekatan omnibus law tersebut. Ia berdalih pemerintah perlu berhati-hati untuk membuka hanya rancangan final ke publik. Setelah rancangan final itu diserahkan ke DPR, masih ada ruang terbuka memberi masukan dan perbaikan dari berbagai pihak.

 

“RUU Cipta Lapangan Kerja ini lintas sektor, ada 11 klaster, pemerintah ingin suara bulat di internal kementerian yang terkait sebelum dibuka ke publik,” kata Bhakti beralasan.

 

Ia memaklumi banyak salah paham yang terjadi karena telanjur beredar desas-desus negatif. Uji publik akan dilakukan secara masif dan siap menerima banyak masukan dan perbaikan. Bhakti membantah bahwa pemerintah sedang menyiapkan RUU Cipta Lapangan Kerja untuk ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Pemerintah juga secara paralel menyusun rancangan Peraturan Pemerintah yang akan terdampak oleh pencabutan pasal-pasal (dalam berbagai UU) oleh RUU Cilaka ini