https://images.hukumonline.com/frontend/lt5e33c00ca88a4/lt5e33c15d5951d.jpg
Ilustrasi: HGW

Belum Surut, Praktik Fintech Ilegal Masih Marak

by

Satgas telah menemukan 120 entitas yang melakukan kegiatan fintechpeer to peer lendingilegal yang tidak terdaftar di OJK pada Januari. Jumlah ini terus memperpanjang daftar fintech ilegal.

Mati satu tumbuh seribu. Pepatah itu tepat menggambarkan persoalan persoalan financial technology peer to peer lending (P2P) atau pinjaman online ilegal di Indonesia. Meski terus dilakukan pemblokiran, layanan fintech ilegal masih terus bermunculan di masyarakat. Padahal, fintech ilegel ini sangat erat dengan permasalahan tingginya bunga pinjaman dan risiko pelanggaran hukum khusunya bagi nasabah. 

 

Satgas Waspada Investasi (SWI) kembali menemukan kegiatan fintech ilegal masih beredar dan berpotensi merugikan masyarakat. Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengatakan hasil penelusuran Satgas pada Januari ini telah menemukan 120 entitas yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending ilegal yang tidak terdaftar di OJK.

 

“Banyak kegiatan fintech peer to peer lending ilegal pada website, aplikasi atau penawaran melalui sms yang beredar. Masyarakat selalu kami minta waspada agar memanfaatkan daftar fintechpeer to peer lendingyang terdaftar di OJK,” kata Tongam, Jumat (31/1).

 

Menurut Tongam, masyarakat juga harus terus diinformasikan untuk berhati-hati memanfaatkan mudahnya penawaran meminjam uang dari perusahaan fintech ilegal mengingat tanggungjawab dalam pengembalian dana yang dipinjam.

 

“Meminjam uang di manapun harus bertanggungjawab untuk membayarnya. Bahayanya jika meminjam di fintech peer to peer lending ilegal masyarakat bisa jadi korban ancaman dan intimidasi jika menunggak pinjaman,” katanya.

 

(Baca: Tantangan Industri Fintech, dari Risiko TPPU Hingga Kualitas SDM)

 

Sebelumnya, pada tahun 2019, Satgas Waspada Investasi menghentikan kegiatan 1494 fintech peer to peer lending ilegal. Total yang telah ditangani Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 s.d. Januari 2020 sebanyak 2018 entitas.

 

28 Entitas Ilegal

Selain kegiatan fintech ilegal, Satgas Waspada Investasi juga menghentikan 28 kegiatan usaha yang diduga melakukan kegiatan usaha tanpa izin dari otoritas yang berwenang dan berpotensi merugikan masyarakat.

 

Dari 28 entitas tersebut di antaranya melakukan kegiatan sebagai berikut:

   •  13 Perdagangan Forex tanpa izin;
   •  3 penawaran pelunasan hutang;
   •  2 Investasi money game;
   •  2 Equity Crowd funding Ilegal;
   •  2 Multi Level Marketing tanpa izin;
   •  1 Investasi sapi perah;
   •  1 Investasi properti;
   •  1 pergadaian tanpa izin;
   •  1 platform iklan digital;
   •  1 Investasi cryptocurrencytanpa izin;
   •  1 Koperasi tanpa izin.

 

SWI juga menyatakan terdapat tiga entitas yang ditangani Satgas telah mendapatkan izin usaha yaitu PT Dxplor Duta Media, PT Indonesia Wijaya Sejahtera, dan PT Makin Jaya Agung telah memperoleh izin usaha untuk melakukan kegiatan penjualan produk dengan sistem penjualan langsung, serta satu entitas yang telah membuktikan bahwa kegiatannya bukan merupakan  fintech lending yaitu Yayasan Beruang Cerdas Indonesia, sehingga dilakukan normalisasi atas aplikasi yang telah diblokir.

 

Untuk menampung pengaduan, konsultasi dan sosialisasi langsung mengenai berbagai persoalan terkait investasi, fintech lending dan gadai swasta ilegal, Satgas kembali membuka Warung Waspada Investasi bertempat di di The Gade Coffee & Gold, Jalan H. Agus Salim, Jakarta Pusat. Warung Waspada Investasi akan beroperasi setiap hari Jumat pukul 09.00 – 11.00 WIB.

 

Dalam Warung Waspada Investasi tersebut akan hadir perwakilan dari 13 kementerian dan lembaga anggota SWI yang akan melayani pertanyaan ataupun aduan masyarakat mengenai kegiatan investasi ilegal, fintech lending ilegal ataupun gadai swasta ilegal.

 

“Selama ini laporan ataupun pertanyaan masyarakat lebih banyak masuk melalui saluran komunikasi seperti Kontak OJK 157, email konsumen@ojk.go.id atau waspadainvestasi@ojk.go.id. Dengan adanya Warung ini diharapkan masyarakat akan semakin mudah untuk melapor dan bertanya langsung,” kata Tongam.

 

Maraknya entitas ilegal ini berbanding lurus dengan laporan yang diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia  (YLKI). Menurut catatan YLKI, mayoritas pelaku usaha pinjaman online yang diadukan adalah pelaku usaha ilegal (54 pelaku). Namun ada juga 17 pelaku usaha yang legal atau terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

 

Walau OJK mengklaim telah memblokir pengusaha ilegal, buktinya korbannya masih cukup marak. Tragisnya, korban adalah masyarakat menengah ke bawah (orang miskin) yang terjerat bunga berbunga yang sangat tinggi dan denda harian yang mencekik leher, sehingga konsumen harus membayar lebih dari 100 persen utang pokoknya.

 

Masih tingginya jumlah pengaduan di bidang jasa keuangan ini mengindikasikan ada suatu permasalahan yang serius, khususnya pengawasan oleh regulator. Jika disandingkan dengan pengaduan konsumen di negara lain, seperti Singapura atau Hong Kong, hal tersebut tidak terjadi lagi.

 

Selama 2017-2019, pengaduan konsumen jasa keuangan di lembaga konsumen di Hong Kong menduduki peringkat ke-15. Di Indonesia, sejak 2012 sampai 2019, pengaduan masalah keuangan menduduki peringkat pertama.