Subsidi LPG 3 KG Makin Bikin Pusing, Apa Solusinya?
by Tirta Citradi, CNBC IndonesiaJakarta, CNBC Indonesia - Tiap tahun konsumsi LPG tanah air terus meningkat dan membuat subsidi jadi bengkak karena masih harus impor. Indonesia harus benar-benar serius menggarap sektor gas yang dimiliki mengingat RI kaya akan sumber daya alam ini dan potensi penggunaannya di berbagai bidang.
Konsumsi LPG dalam negeri terus mencatatkan pertumbuhan. Pada 2016-2017 konsumsi tumbuh 4,8%, tahun 2017-2018 volumenya naik 3,8% dan tahun 2018-2019 jumlahnya kembali naik 4,8%.
Untuk LPG ukuran tiga kilogram yang sering disebut LPG melon, pemerintah menganggarkan subsidi untuk masyarakat dengan daya beli rendah agar mampu membeli LPG melon untuk kebutuhan sehari-hari.
Pada 2017 kuota subsidi LPG mencapai 6,2 juta metrik ton. Pada 2018 kuotanya naik menjadi 6,53 juta metrik ton. Terakhir tahun lalu, kuota subsidi juga naik lagi menjadi 6,97 juta metrik ton.
Sepanjang tahun 2019 pemerintah telah mengeluarkan subsidi untuk LPG melon sebesar Rp 42,47 triliun. Beban pemerintah untuk memberikan subsidi jadi meningkat, karena volume konsumsinya terus meningkat.
Beban juga meningkat karena dua faktor lain. Pertama subsidi yang tidak tepat sasaran. Artinya LPG 3 kg tidak hanya dibeli oleh kalangan tak mampu saja, tetapi juga dibeli kalangan yang tergolong mampu.
Kedua, LPG berasal dari minyak. Sementara Indonesia masih mengimpor minyak, baik yang mentah maupun yang sudah diolah. Sampai dengan 2019, Indonesia masih mengimpor 75% dari total kebutuhan LPG.
Dua hal di atas semakin memberatkan pos subsidi pemerintah. Bahkan ada wacana pemerintah akan mencabut subsidi gas 3 kg. Namun hal tersebut langsung ditepis langsung oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. "Itu tidak sepenuhnya benar" katanya.
Dengan populasi penduduk yang terus tumbuh, lebih dari 260 juta masyarakat Indonesia membutuhkan bahan bakar tiap harinya untuk berbagai aktivitas mulai dari memasak hingga bepergian.
Konsumsi bahan bakar masyarakat Indonesia masih akan terus tumbuh ke depan seiring dengan pertumbuhan populasi dan adanya bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Kalau masalah ini tak segera diselesaikan, maka Indonesia bisa benar-benar tekor.
Setidaknya ada dua upaya utama yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, subsidi jangan dicabut karena masih ada masyarakat dengan daya beli lemah yang sangat membutuhkan bantuan.
Subsidi harus tepat sasaran agar dampak ekonomi dari subsidi dapat dirasakan secara optimal. Pemerintah perlu melakukan melakukan seleksi dengan ketat kepada siapa saja yang berhak menerima subsidi gas ini.
Tak sampai di sini saja, pemerintah harus melakukan pemutakhiran pada database, merancang skema distribusi yang efisien dan melakukan fungsi pengawasan secara ketat. Kedua, pemerintah juga perlu mencari alternatif lain pengganti LPG yang lebih efisien secara biaya dan feasible untuk Indonesia. Salah satunya adalah gas.