https://awsimages.detik.net.id/visual/2019/07/26/f84f73d5-f327-4d05-bb8c-61d6fc458196_169.jpeg?w=715&q=90
Foto: Infografis/ Anggota baru Indeks LQ45 Yang Masuk dan Yang Terdepak /Aristya Rahadian Krisabella

Indeks LQ-45 Anjlok Lebih Dalam, tapi Saham GGRM Bertahan

by

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi lepas saham oleh investor asing di tengah kekhawatiran virus Corona baru membuat indeks berisikan saham paling likuid (indeks LQ45) tertekan, seiring dengan koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Hingga pukul 15:00 WIB, IHSG mengalami penurunan 110 poin atau 1,8%, sedangkan indeks LQ45 kehilangan 21 poin dengan persentase penurunan yang lebih besar hingga 2,13%.

Dari 45 saham konstituen indeks tersebut, 44 di antaranya mengalami penurunan dan hanya 1 saham bergerak di zona hijau yakni PT Gudang Garam Tbk/GGRM  yang naik 75 poin atau 0,09% pada harga Rp 55.775/saham.

Saham-saham LQ45 yang paling terpapar penurunan ialah: PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (-4,44%), PT Kable Farma Tbk/KLBF (-4,29%), PT Indah Kiat Pulp & Paper/INKP (-4,24%), PT United Tractors Tbk/UNTR (-4,01%), dan PT Adaro Energy Tbk/ADRO (-3,86%).

Pada penutupan bursa hari Jumat (31/1) sore tadi, Indeks LQ45 ditutup anjlok 2,55%, lebih dalam dari IHSG yang juga anjlok 1,94% pada level 5.940.

Salah satu penyebab turunnya IHSG dan indeks LQ45 ialah aksi jual investor asing (foreign investor) yang melakukan penjualan saham dengan nilai jual bersih (net sell) yang mencapai Rp 773 miliar di pasar reguler, sedangkan di semua pasar mencapai Rp 767,44 miliar.

Saham-saham yang banyak dijual asing ialah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 296 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 171,09 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 54,23 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 48,76 miliar), PT Telekomunkasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 37,42 miliar).

Sejak awal tahun, asing  mencatatkan sudah net sell sebanyak Rp 1,22 triliun di pasar reguler, sedangkan di pasar non reguler (pasar negosiasi dan pasar tunai) masih mencatatkan net buy senilai Rp 1,07 triliun.

Kondisi lebih baik terjadi di pasar obligasi pemerintah. Data Refinitiv pada pukul 14:55 WIB menunjukkan obligasi tenor 5 tahun mengalami penurunan imbal hasil (yield) 1,6 basis poin, tenor 10 tahun turun 0,6 poin, tenor 20 tahun turun 0,9 poin, tenor 25 tahun turun 0,7 poin, dan tenor 30 tahun turun 2,2 poin.

Pergerakan harga dan yield pada instrumen obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Ketika harga suatu obligasi naik, maka yield pun turun, begitupun sebaliknya. Yield lebih umum menjadi acuan keuntungan investor dan dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/yam)