https://images.hukumonline.com/frontend/lt5e33afb483233/lt5e33b00a628d6.jpg
Ilustrasi: BAS

Mahasiswa Fakultas Hukum di antara Masalah Politik dan Terorisme

by

​​​​​​​Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi pernah menguji perundang-undangan terkait politik, pemilu, dan pemberantasan terorisme. Bagaimana hasilnya?

Perjuangan mahasiswa Indonesia dalam catatan historis tidak dapat dilepaskan dari masalah politik. Pada masa sekarang, mahasiswa Indonesia juga memperlihatkan kepedulian pada masalah-masalah politik dan hukum nasional. Demonstrasi yang dilakukan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto adalah bagian dari sejarah mahasiswa Indonesia yang berhasil menumbangkan rezim otoriter.

 

Pada skala yang lebih kecil, selalu ada mahasiswa yang memperjuangkan aspirasi masyarakat dan aspirasinya melalui beragam cara. Salah satunya melalui pengujian Undang-Undang terkait politik ke Mahkamah Konstitusi. Hukumonline menelusuri sejumlah permohonan judicial review yang dilakukan baik oleh mahasiswa sendiri maupun bergabung dengan pihak lain.

 

Selain masalah politik, ada juga permohonan yang diajukan berkaitan dengan pemberantasan terorisme dan pemilihan kepala daerah. Inilah beberapa permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, dimana mahasiswa menjadi bagian dari pemohonnya.

 

  1. Pengujian UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ini adalah perkara pertama dan satu-satunya yang melibatkan pemohon mahasiswa dengan hasil putusan dikabulkan seluruhnya. Meskipun dikabulkan, Putusan No. 97/PUU-XI/2013 diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) tiga orang hakim konstitusi yang memilih menolak permohonan. Ketiganya adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi.

 

Pemohon mahasiswa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul yang diwakili Kurniawan, Danny Dzul Hidayat, dan Landipa Nada Atmaja serta Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) yang diwakili Achmad Saifudin Firdaus dan Lintar Fauzi. Mereka semua maju sebagai pemohon bersama Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK).

 

Inti permohonan adalah membatalkan kewenangan MK mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Materi yang diuji adalah Pasal 236C UU Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. MK setuju bahwa rumusan pasal pengalihan kewenangan tersebut dari Mahkamah Agung ke MK bertentangan dengan konstitusi. Pemilihan kepala daerah diakui bukan rezim pemilihan umum nasional yang dimaksud dalam konstitusi sebagai kewenangan MK.

 

Hanya saja MK tetap mengakui seluruh putusannya atas  perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sejak tahun 2008 tetap sah. Selain itu, putusan juga menyatakan bahwa kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah masih berada di MK selama belum ada undang-undang yang mengaturnya kembali.

 

Baca:

  1. Pengujian UU No.8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

Pada 2015, Dani Safari Effendi, Ecep Sukmanagara, Muhammad Rifki Arif, Ristian, Cecep Zamzam, dan Dudi Jamaludin, adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Galunggung. Mereka menguji materi UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Selain para mahasiswa tersebut, gugatan juga diajukan oleh Didin Sujani sebagai Pemohon VII.

 

Para Pemohon menyatakan Pasal 70 ayat (2), Pasal 201 ayat (1), Pasal 201 ayat (2), Pasal 201 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2015 bertentangan dengan Pasal 1 sampai Pasal 28J UUD 1945. Mereka juga meminta Mahkamah Konstitusi menetapkan pengunduran Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Tasikmalaya hingga 2017. Hasil dari upaya ini adalah majelis hakim menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Melalui putusan No. 131/PUU-XIII/2015, majelis hakim MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur.

 

  1. Pengujian UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD

Pada 2017 lalu, Yudhistira Rifky Darmawan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid bersama dengan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) serta Tri Susilo menguji materi terkait kewenangan hak angket DPR pada Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Para pemohon memberi kuasa kepada advokat dari Law Firm 218 & Partners. Amar putusan majelis hakim dalam Putusan No. 36/PUU-XV/2017 menolak permohonan karena pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum.

 

Masih untuk UU MD3, uji materi juga pernah diajukan Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Jakarta Timur. Pasal yang dianggap bertentangan dengan konstitusi adalah Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1). Dalam putusan No.  26/PUU-XVI/2018 Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.

 

Yudhistira Rifky Darmawan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid kembali menguji materi UU MD3 pada tahun 2018. Ia maju bersama Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dan Husdi Herman. Pasal yang menjadi pokok perkara adalah Pasal 73, Pasal 122, dan Pasal 245. Dalam amar putusan No. 16/PUU-XVI/2018 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut untuk sebagian.

 

Selanjutnya Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Josua Satria Collins, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia kembali menguji materi UU MD3. Kali ini Pasal 122 huruf I diajukan sebagai perkara. Pokok permohonan Perkara ini dalam perkembangannya kehilangan objek. Majelis hakim dalam amar Putusan No. 18/PUU-XVI/2018 menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

 

Baca juga:

  1. Pengujian UU No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang

Pada 2018, Faisal Al Haq Harahap dan Muhammad Raditio Jati Utomo, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia menguji materi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mereka meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 2 UU No. 15 Tahun 2003 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bertentangan dengan UUD 1945.

 

Amar Putusan MK No. 73/PUU-XVI/2018 menyatakan permohonan itu tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dan permohonan kabur. Alhasil, pokok permohonan menjadi tidak dipertimbangkan.

 

Pada tahun yang sama, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan William Aditya Sarana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia lainnya kembali menguji UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang telah berubah lagi menjadi UU No. 5 Tahun 2018. Mahkamah Konstitusi mengakui legal standing mahasiswa FHUI mengajukan permohonan karena ada hubungan dengan pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa UI termasuk yang disusupi paham radikal. Para pemohon mempersoalkan tidak jelasnya makna radikal, deradikalisasi dan kontra-radikal, sehingga hak konstitusional pemohon terganggu.

 

Dalam perkembangannya, pokok permohonan dianggap tidak beralasan menurut hukum. Majelis hakim MK dalam amar Putusan No. 55/PUU-XVI/2018 menyatakan menolak permohonan.

 

  1. Pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pada 2019, Ahmad Syauqi, Ammar Saifullah, Taufiqurrahman Arief, Khairul Hadi, Yun Frida Isnaini, dan Zhillan Zhalilan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam As-Sayfiiyah, mengajukan permohonan pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Mereka dibantu Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Islam As-Syafiiyah sebagai kuasa hukum.

 

Pasal 299 ayat (1) dan Pasal 448 ayat (2) UU Pemilu dinilai para pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Dalam perkembangan proses permohonan ternyata pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Majelis hakim MK dalam amar Putusan No. 10/PUU-XVII/2019 menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya.

 

Masih di tahun yang sama, mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah Ritonga, mengajukan uji materi terhadap UU Pemilu. Joni Iskandar berasal dari Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Ia tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tempat asalnya. Akibatnya Joni tidak bisa mengurus pindah memilih ke Kabupaten Bogor sehingga terancam kehilangan hak pilih pada pemilu 2019.

 

Sementara itu, Roni Alfiansyah Ritonga berasal dari Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Roni tercatat dalam DPT di daerah asalnya. Ia juga telah mengurus keterangan pindah memilih ke KPU Kabupaten Bogor. Namun, Roni mengaku khawatir dengan potensi kekurangan surat suara. Roni juga tidak puas karena hanya mendapatkan satu hak suara untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.

 

Mereka menyatakan Pasal 210 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 344 ayat (2), Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Majleis hakim dalam amar Putusan No. 19/PUU-XVII/2019 menyatakan permohonan untuk Pasal 210 ayat (1) tidak dapat diterima karena kabur, sedangkan untuk permohonan lainnya ditolak karena tidak beralasan menurut hukum.