https://images.hukumonline.com/frontend/lt5e3390e5a38a8/lt5e33919557fd7.jpg
Ilustrasi: BAS

Permohonan dengan Jumlah Mahasiswa Terbanyak

by

Selain melakukan aksi parlemen jalanan, mahasiswa dari berbagai kampus melawan pelemahan KPK lewat revisi UU No. 30 Tahun 2002.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Permahi), M. Andrean Saefudin, memandang permohonan pengujian hasil revisi UU KPK ke Mahkamah Konstitusi sebagai pembejalaran. Sebab, permohonan 190 orang pemohon atas hasil revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi gagal hanya karena kesalahan yang tak perlu terjadi. Pemohon salah merujuk nomor undang-undang. “Ini catatan bagi Permahi,” ujarnya saat dihubungi Hukumonline.

 

Bagi Andrean, gerakan mahasiswa menempuh judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah jalur yang benar antara lain untuk menguji kemampuan dan kelilmuan yang diperoleh di bangku kuliah. Apalagi bagi mahasiswa fakultas hukum, pengalaman mengikuti peradilan semu, seharusnya menjadi bekal untuk ikut bersidang di Mahkamah Konstitusi atau di pengadilan. Error in objecto yang terjadi dalam pengujian hasil revisi UU KPK adalah ‘kesalahan’ yang tak seharusnya terjadi.

 

Ketika DPR dan Pemerintah bersekutu secara politik untuk melakukan revisi UU No. 30 Tahun 2002, sebagian masyarakat menilainya sebagai upaya memperlemah Komisi Pemberantasan Korupsi. Kritik demi kritik dan kekhawatiran yang terungkap ke publik tidak membuat pemerintah dan DPR mundur. Pemerintah dan DPR bergeming sekalipun mahasiswa menggelar demonstrasi di banyak lokasi. Demonstrasi menyebabkan dua mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari kehilangan nyawa. Lalu lintas dan layanan publik di beberapa kota besar terganggu akibat aksi parlemen jalanan tersebut.

 

Namun, ada juga mahasiswa yang menempuh langkah konstitusional. Dari 190 pemohon uji ke Mahkamah Konstitusi, tidak kurang dari 183 pemohon berstatus sebagai mahasiswa. Berdasarkan catatan Hukumonline, inilah permohonan pengujian Undang-Undang dengan pemohon mahasiswa terbanyak. Para mahasiswa itu tersebar dari berbagai kampus di Indonesia. Mulai dari Aceh hingga ke Kalimantan dan Jawa Timur. Tidak hanya mahasiswa Fakultas Hukum, tetapi juga mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ini menunjukkan betapa massifnya orang yang tergugat dan terganggu hak konstitusionalnya atas revisi UU KPK. 

 

Baca:

 

Permohonan didaftarkan 24 September 2019, dan diperbaiki pada 14 Oktober tahun yang sama, permohonan itu sudah diputus pada November 2019. Artinya, sidang atas permohonan ini berlangsung relatif cepat. Apa yang menyebabkan permohonan diputus cepat? Ini ada kaitannya dengan apa yang dikhawatirkan Andrean tadi.

 

Dalam putusan No. 57/PUU-XVII/2019, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima karena error in objecto. Para pemohon menyebut hasil revisi UU KPK sebagai UU No. 16 Tahun 2019. Padahal yang benar adalah UU No. 19 Tahun 2019. UU No. 16 Tahun 2019 adalah perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kesalahan menyebut nomor undang-undang inilah yang disebut error in objecto, dan menjadi dasar bagi Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

 

https://images.hukumonline.com/frontend/2017/Redaksi/Mahasiswa_6_Pertimbangan.jpg

 

Meskipun permohonan mahasiswa itu kandas di tengah jalan bukan berarti tidak ada permohonan pengujian terhadap UU KPK hasil revisi. Pada akhirnya tiga pimpinan KPK –Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang—mengajukan pengujian atas UU No. 19 Tahun 2019. Hingga kini permohonannya belum diputus.

 

Selain itu ada juga permohonan pengujian UU yang sama diajukan oleh 12 orang pemohon terdiri dari advokat, aktivis antikorupsi, dan mahasiswa hukum. Permohonan ini pun masih dalam proses persidangan.

 

Baca juga:

 

Pidana Mati untuk Pelaku Korupsi

Selain UU KPK, ada juga permohonan pengujian UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor). Mahasiswa beragam kampus, termasuk mahasiswa Fakultas Hukum UGM dan Universitas Sahid Jakarta, bersama dosen dan wirawasta mengajukan permohonan pengujian Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor. Mahasiswa yang menjadi pemohon adalah Ade Putri, Oktav Dila Livia, Ikhsan Prasetya Fitriansyah, dan Felix Juanardo Winata.

 

Para pemohon mendalilkan bahwa frasa ‘keadaan tertentu’ dan ‘bencana alam nasional’ dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi substansi yang diperjuangkan mahasiswa dan pemohon lain adalah menerapkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan korupsi atas dana-dana penanggulangan bencana. Korupsi dana penanggulangan bencana, terlepas apakah bencananya bersifat nasional atau hanya di daerah tertentu, adalah tindakan tidak manusiawi.

 

Namun dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi tidak mengakui legal standing pemohon mahasiswa. Dua orang mahasiswa Universitas Sahid, yakni Ade Putri Lestari dan Oktav Dila Livia, serta dua orang mahasiswa UGM Yogyakarta, yakni Ikhsan Prasetya Fitriansyah dan Felix Juanardo Winata, dianggap; tidak dapat membuktikan kerugian konstitusional. Meskipun para mahasiswa ini tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan masyarakat dan pertanyaan diskusi di kelas mengenai tidak diterapkannya hukuman mati terhadap koruptor dana bencana alam, tak berarti menghalangi para pemohon memajukan diri dalam memperjuangkan hak dan membantgu masyarakat. Masalah yang sama dihadapi oleh banyak orang lain, dan bukan masalah konstitusional para pemohon mahasiswa. Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi hanya mengakui legal standing warga korban bencana alam.

 

Dalam amar Putusan MK No. 4/PUU-XVII/2019 majelis hakim menyatakan permohonan I sampai V dan Pemohon VIII sampai IX tidak dapat diterima; dan permohonan Pemohon VI dan VII ditolak. Majelis juga menyatakan pertimbangan Mahkamah mengenai frasa ‘keadaan tertentu’ mutatis mutandis dengan putusan sebelumnya, yakni putusan MK No. 44/PUU-XII/2014. Permohonan terakhir ini diajukan dua orang warga yang bukan mahasiswa.