Bermula dari Diskusi Kecil: Menelusuri Jejak Kelahiran KPK
by Muhammad YasinPembentukaan KPK merupakan salah satu hasil reformasi paling berarti. Karya ini merunut ke belakang gagasan awal, dan melangkah tegak lalu berdiri untuk negeri.
Benarkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tak bertaji dan nasibnya di ujung tanduk? Benarkah UU No. 19 Tahun 2019, hasil revisi atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai biang keladi ‘keruntuhan’? Faktanya, hingga kini komisi antirasuah ini masih tegak berdiri. Kritik dari masyarakat nyaring terdengar dalam lima bulan terakhir. Mulai dari performa komisioner hingga kasus Harun Masiku. Ini menjadi tantangan bagi pimpinan KPK jilid kelima, yang dipimpin Firli Bahuri.
Sejak kepemimpinan jilid pertama, KPK beranjak menjadi lembaga penegak hukum yang sangat dipercaya publik. Beberapa survei menempatkan komisi ini jauh di atas lembaga penegak hukum lain yang punya tugas sama: mencegah dan memberantas korupsi. KPK telah mengantarkan sejumlah menteri ke kursi terdakwa; dan telah melakukan banyak operasi tangkap tangan terhadap ratusan orang baik aparat pemerintah dan legislatif maupun pengusaha. KPK terus menaiki anak tangga kepercayaan publik, hingga tiba waktunya lembaga ini diobok-obok oleh kekuasaan.
Pemegang kekuasaan, ditambah pemegang kas keuangan, dianggap merasa terganggu oleh sepak terjang KPK. Beragam cara dilakukan sejak lama, seperti yang tertanam di benak publik pada wacana cicak versus buaya. Kekuasaan pula yang dipergunakan untuk mempreteli satu per satu amunisi KPK. Setidaknya, begitulah yang disuarakan oleh banyak orang secara terbuka. Toh, pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif bergeming. Yang diangkat ke permukaan bukan hanya bantahan bahwa revisi UU No. 30 Tahun 2002 sebagai upaya melemahkan, tetapi juga melontarkan memorabilia historis bahwa KPK dilahirkan oleh rezim tertentu sehingga tak mungkin rezim itu yang memusnahkan pelan-pelan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mungkin, sebagian orang hanya mengingat bahwa KPK lahir berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002, suatu wet yang dihasilkan Pemerintah dan DPR dan diberlakukan mulai 27 Desember 2002 itu. Tidak ada yang salah dari anggapan itu. Tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, Komisi ini sebenarnya tidak turun begitu saja dari tangan kekuasaan di Senayan. Sejarah mencatat bahwa upaya mencegah dan memberantas korupsi sudah dilakukan tak lama setelah negara ini merdeka, Agustus 1945. Hukumonline telah membuat liputan khusus tentang senjakala lembaga-lembaga antikorupsi yang pernah ada di Indonesia.
(Baca juga: Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia)
Sejarah kehadiran lembaga-lembaga antikorupsi di Indonesia tersebar dalam banyak buku. Salah satu karya terbaru yang secara khusus mengulas latar belakang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah buku ‘KPK Berdiri untuk Negeri’. Ditulis oleh Arin Swandari, Cisya Satwika, dan Lilyani Harsulistyati, buku ini ditulis dengan bahasa dan tampilan yang menarik. Dua nama pertama dari tiga orang penulis berlatar belakang jurnalistik; sedangkan penulis ketiga Lilyani pernah bekerja di BPKP, dan di KPK selama 2004-2014.
Buku ini menyajikan latar belakang historis munculnya gagasan Badan Independen Anti Korupsi (BIAK). Gagasan itu muncul dari diskusi-diskusi kecil yang diikuti sejumlah tokoh bangsa ini, ‘dimulai dari sebuah perkawanan yang seide dan sejalan’, yang meja rapatnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain (hal. 4).
Diskusi itu digelar karena mereka yang seide dan sejalan merasa gelisah melihat arah reformasi yang digulirkan sejak 1998. Adu gagasan terus berlangsung, dan anggotanya semakin bertambah. Kepercayaan makin besar setelah Mr Clean, sebutan untuk Mar’ie Muhammad, seorang Menteri Keuangan era Soeharto, ikut bergabung. Ada yang menyumbang ide, ada yang menyumbang dana (hal. 7). Buku ini menyebutkan secara jelas satu per satu nama tokoh yang terlibat dalam diskusi-diskusi kecil hingga mereka memberanikan diri menyelenggarakan Forum Rembug Nasional di Bali (hal. 21).
Mengusungnya lewat Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), gagasan tentang perlunya suatu lembaga antikorupsi nasional yang kuat terus digaungkan. Harapan semakin besar karena pemerintah menerima gagasan itu. Pendekatan ke pemerintah juga dilakukan paralel dengan diskusi yang lebih luas. Pada 11 Juni 1999, misalnya, Ketua MTI Mar’ie Muhammad mengirimkan surat kedua kepada Presiden BJ Habibie tentang Persiapan Pembentukan Badan Antikorupsi. Dua tokoh hukum penting yang ditemui sebagai bagian dari roadshow gagasan itu adalah Muladi dan Romli Atmasasmita.
Pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie lahir UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah Undang-Undang ini lahir dibentuk tim khusus pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menggantikan Habibie, lahirlah apa yang kemudian dikenal sebagai Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi. Buku ini juga mencatat bagaimana nasib TGPTPK berakhir di tangan Mahkamah Agung (hal. 110), dan proses historis selanjutnya hingga KPK terbentuk dan pimpinan jilid pertama terpilih.
Dua buku lain yang relevan untuk dibaca adalah Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga Zaman: Orde Lama, Orde Baru & Era Reformasi karya Hamid Chalid dan Abdi Kurnia Johan (2010), dan Melawan Korupsi, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014 karya Vishnu Juwono (2018).
(Baca juga: Tiga Aktor Utama dalam Pemberantasan Korupsi).
Bagaimana proses itu berlangsung, jauh lebih baik dilakukan dengan membaca buku ini. Yang jelas, langkah baik memberantas korupsi itu tidak mudah. Apalagi jika berkaitan dengan kekuasaan. Persis seperti ditulis Sarwono Kusumaatmadja di cover belakang buku ini: “Setelah KPK terbentuk dan berkiprah, berbagai tantangan dan ancaman dari elit kleptokrasi yang terganggu eksistensinya seolah tiada henti”.
Sejumlah tokoh yang dimuat dalam buku ini menyebut KPK adalah anak kandung reformasi, dan hasil paling berarti dari gerakan reformasi. Perjalanan lembaga ini bukan tanpa hambatan dan tantangan. Hanya dengan kekuatan bersama, korupsi itu dapat diberantas. Kuat saja tak menjamin bebas korupsi. Kisah-kisah orang yang kuat iman melakukan korupsi dapat dijadikan contoh. Benarlah kata penulis buku asal Bronx, New York Amerika Serikat, Eric Hoffer: Kekuatan menimbulkan sedikit korupsi, tetapi kelemahan menimbulkan lebih banyak korupsi.
Buku ini menyajikan kalimat-kalimat pendek, berkisah tentang para pejabat, yang menggugah kita untuk tidak melakukan korupsi. Simaklah penggalan tentang kesederhanaan mantan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim. Sebagai menteri, Agus Salim punya banyak pintu untuk menumpuk kekayaan. Tapi ia memilih hidup sederhana, tinggal di rumah kontrakan, pindah dari satu gang ke gang lain. Atau, kisah Menteri Penerangan M. Natsir yang tak malu berbaju kerja lusuh dan jas bertambal. Ia pun menolak pemberian mobil dan tetap mempertahankan jalan hidup sederhana meskipun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri.
Dan, sejujurnya, kalimat-kalimat historis semacam itu membuat buku ini enak dibaca dan memotivasi. Katakan tidak untuk korupsi! Selamat membaca…