Resmi Keluar dari Eropa, Ini Kebijakan Inggris Buat CPO RI
by Rehia Sebayang, CNBC IndonesiaJakarta, CNBC Indonesia - Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa (UE) pada Jumat (31/1/2020). Setelahnya, negara akan memasuki masa transisi (penyesuaian) hingga Desember mendatang.
Selama masa transisi, Inggris masih akan menggunakan aturan UE dalam perdagangan. Setelah masa transisi berakhir, Inggris mungkin menerapkan aturan baru dalam berhubungan dengan mitra-mitranya.
Hal ini pun menuai pertanyaan tentang bagaimana negara itu akan mengatur masalah perdagangan dengan Indonesia. Terutama dalam hal regulasi di sektor minyak kelapa sawit (CPO).
Seperti diketahui, Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah berselisih dengan UE terkait CPO. Negara-negara Eropa menganggap pertanian kelapa sawit di Indonesia merusak lingkungan.
Sehingga mereka menerapkan aturan untuk mengurangi penggunaan kelapa sawit. Dampaknya hal itu mengancam industri kelapa sawit Indonesia.
Menanggapi hal ini, Duta Besar Inggris untuk RI, Owen Jenkins mengatakan selama masa transisi, Inggris akan tetap menggunakan aturan UE dalam perdagangan kelapa sawit. Namun setelahnya kedua negara mungkin akan menerapkan aturan yang berbeda.
"Sejujurnya ini juga menjadi pertanyaan Inggris. Selama masa transisi aturan UE akan terus berlaku di Inggris ... aturan CPO dan biofuel termasuk di dalamnya. Setelah masa transisi kami akan lihat apa yang akan kami lakukan dengan ini," jelasnya dalam konferensi pers di Kedutaan Inggris.
Jenkins juga menegaskan bahwa sejatinya aturan biofuel Inggris dan UE sangat berbeda. Menurutnya, aturan Inggris lebih memudahkan negara-negara pengimpor.
Ia pun menegaskan bahwa Inggris memahami dengan pasti pentingnya sektor kelapa sawit bagi ekonomi Indonesia. Oleh karenanya, Jenkins mengatakan, Inggris akan melakukan yang terbaik agar Indonesia bisa terhindar dari aturan yang merugikannya.
"Inggris sadar pentingnya industri CPO bagi ekonomi Indonesia ... Jadi kami yakin ini industri utama untuk Indonesia dan kami perlu perhatikan dengan baik," katanya.
Sebelumnya, konflik antara Indonesia dan UE tentang CPO memuncak Maret 2019 lalu. Saat itu, UE membuat Renewable Energi Directive (RED) II yang mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam komoditas yang memiliki indirect land use change (ILUC) berisiko tinggi.
Akibat dari peraturan tersebut, biodiesel yang berbahan dasar minyak sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE. UE menjalankan kebijakan tentang bahan bakar nabati sebagai bentuk komitmen mereka dalam melawan perubahan iklim sesuai yang tertera dalam Perjanjian Paris 2015.
Melihat aksi tersebut, RI melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap UE di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 9 Desember 2019.
Gugatan tersebut diajukan terhadap kebijakan Renewable Energiy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE karena dinilai mendiskriminalisasi produk kelapa sawit Indonesia.
(sef/sef)