KPK Temukan Masalah Terkait OSS
by Aji PrasetyoMasih ada sistem perizinan yang tumpang tindih.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo membuka rangkaian acara Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Harkordia) di Gedung Penunjang KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Dalam sambutannya, Agus menyinggung sejumlah hal mulai dari kinerja pencegahan korupsi lembaga yang dia pimpin, meminta Presiden menjadi panglima pencegahan dan pemberantasan korupsi hingga masih adanya masalah dalam sistem Online Single Submission (OSS).
Dalam peringatan Harkordia yang mengusung tema "Bersama Melawan Korupsi Mewujudkan Indonesia Maju" Agus melaporkan kinerjanya dalam empat tahun memimpin KPK bersama empat komisioner lain. Seperti meningkatnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang naik satu poin dari peringkat 37 naik ke peringkat 38.
Menurut Agus, pengukuran IPK terdiri dari sejumlah variabel seperti kestabilan politik, ekonomi, persaingan antar bangsa maupun persaingan usaha. Oleh karena itu untuk mewujudkan IPK lebih baik, bukan hanya KPK, tapi juga Presiden sebagai panglima pemberantasan korupsi.
"Oleh karena itu mewujudkannnya Indeks ini naik itu pasti bukan hanya KPK tapi presiden sebagai panglima pemberantasan korupsi harus bisa mengkordinasikan semua pihak untuk kemudian secara bersama-sama bisa mengatasi kelemahan yang terjadi di banyak sektor di banyak elemen dan di banyak pihak. Jadi kami sangat berharap di tahun-tahun yang akan datang koordinasi ini akan lebih baik lagi dan kita bisa mewujudkan Indonesia yang sejahtera makmur dengan tingkat korupsi seminimal mungkin," ujarnya.
(Baca juga: Kenali Ragam Hambatan Izin Usaha via OSS).
Tak hanya itu, dalam kesempatan ini Agus menyampaikan ada sejumlah masalah yang dikeluhkan para pengusaha di sektor perizinan. Masalah tersebut salah satunya terkait dengan OSS serta Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang sebenarnya sudah mencapai 60 persen.
Agus menyayangkan masih ada tumpang tindih pengurusan perizinan sehingga menyulitkan para pemerintah daerah. KPK menerima keluhan itu dari kalangan pengusaha. Karena itu ia meminta ada sinkronisasi kebijakan OSS dan PTSP. “Kami sangat berharap pengawasan terhadap sinkronisasi ini agar lebih diintensifkan supaya teman-teman di daerah juga tidak merasa mendapatkan beban tambahan apalagi masih banyaknya UU dan kebijakan sektor yang kemudian seolah-olah memberikan beban tambahan pada teman-teman yang bekerja di perizinan di daerah-daerah. Ini pasti memerlukan perhatian yang lebih besar lagi," terangnya.
Diberitakan sebelumnya, dari hasil Studi Evaluasi Setahun Pelaksanaan Sistem Pelayanan Terintegrasi OSS yang dilakukan Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan sejumlah masalah. Peneliti KPPOD Boedhi Rheza menjelaskan masih belum maksimalnya pemahaman pemerintah daerah mengenai OSS ini menjadi salah satu penyebabnya.
Mereka (pemda) masih bingung ketika OSS di-launching ini siapa yang akan menerbitkan NIB (nomor induk berusaha) dan siapa yang bertanggung jawab jika ada masalah (kegiatan usaha),” ujar Boedhi di Jakarta September 2019 lalu.
Studi evaluasi OSS dilakukan sejak Juli 2018 di enam provinsi yakni DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Boedhi menjelaskan studi tersebut menemukan permasalahan utama disebabkan ketidaksesuaian regulasi tingkat pusat dengan daerah. Menurutnya, pedoman Norma, Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang menjadi petunjuk teknis pelayanan perizinan justru tidak konkret menerjemahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Terintegrasi Berbasis Elektronik (OSS). “NSPK tidak lengkap implikasinya pada variasi layanan. Daerah masih menggunakan peraturan yang tidak up to dated,” jelas Boedhi.
(Baca juga: Masalah Perizinan Masih Jadi Hambatan Sektor Investasi).
Salah satu contoh kasus persoalan NSPK ini dapat terlihat saat pelaku usaha ingin mendapatkan izin usaha industri (IUI). Pelaku usaha harus mendaftarkan lagi ke aplikasi Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) milik Kementerian Perindustrian. Padahal, aturan OSS menyatakan tidak memerlukan persyaratan tersebut. Sehingga, terjadi berbagai macam variasi pada SOP pelayanan izin daerah yang justru membingungkan pemerintah daerah dan pelaku usaha.
Agus juga "memamerkan" hasil pencegahan yang dilakukan KPK selama ini. Lembaga antirasuah tersebut, katanya berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp63,9 triliun yang berasal dari kegiatan monitoring penyelenggaraan pemerintahan negara berupa kajian-kajian sebesar Rp34,7 triliun.
"Kegiatan kordinasi dan supervisi dalam bentuk penyelamatan aset sekitar Rp29 triliun dan penyelamatan keuangan negara dari gratifikasi dalam berbentuk barang maupun uang senilai Rp159 milliar," tuturnya.