https://images.hukumonline.com/frontend/lt53170095f109d/lt53174a2461cfb.jpg
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Ada Kekhawatiran dalam Amandemen Konstitusi

by

Golkar dan Demokrat berpendapat belum perlunya mengamandemen konstitusi untuk mengatur haluan negara karena khawatir materi amandemen melebar ke hal-hal lain. Kalau amandemen hanya menyangkut haluan negara masih dapat diatur melalui UU tersendiri, seperti yang sudah diatur dalam UU 25/2004.

Sejumlah fraksi partai di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ternyata belum bulat terkait amandemen UUD Tahun 1945. Salah satunya, Fraksi Golkar yang terang-terangan keberatan untuk mengamandemen konstitusi untuk kelima kalinya. Alasannya, ada kekhawatiran substansi amandemen konstitusi bakal melebar kemana-mana, tak hanya terbatas soal GBHN.       

 

Ketua Fraksi Partai Golkar MPR Idris Laena menerangkan sistem demokrasi di Indonesia telah mendapat tempaan dan ujian sedemikian keras. Ujian atau cobaan silih berganti dalam setiap era pemerintahan. Mulai pemilihan presiden atau kepala daerah secara langsung, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, serta kepala daerah yang notabene hasil reformasi yang tertuang dalam UUD Tahun 1945 hasil amandemen pertama s.d. keempat (1999-2002).    

 

Karena itu, kata Idris, ketika ada wacana amandemen konstitusi (kelima) menjadi pertanyaaan besar. “Apakah ini tidak akan melebar ke mana-mana? Kita khawatir rencana amandemen ini melebar ke banyak hal,” kata Idris di Komplek Gedung Parlemen, Senin (9/12/2019). Baca Juga: Amandemen Konstitusi Potensial Jadi ‘Bola Liar’

 

Dia mengingatkan amandemen konstitusi bukanlah perkara mudah baik dari sisi persyaratan dan fungsinya. Sebab, konstitusi negara sebagai hukum dasar yang menjadi pedoman setiap penyusunan peraturan perundang-undangan. “Jika berubah satu pasal saja dalam UU, akan mempengaruhi seluruh produk peraturan perundang-undangan di bawahnya, dan sudah barang tentu juga mempengaruhi kebijakan pemerintah,” kata dia.

 

Misalnya, Pasal 37 ayat (1) UUD Tahun 1945 menyebutkan “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratn Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Pasal 37 ayat (2)-nya menyebutkan, “Usulan perubahan pasal pada UUD 1945 diajukan secara tertulis serta ditunjukan dengan jelas bagian yang bakal diubah beserta alasannya.”

 

Bila saja 1/3 anggota MPR mengusulkan perubahan UUD Tahun 1945 disertai alasannya sesuai aspirasi yang diserap di daerah pemilihan masing-masing, dipastikan amandemen bisa melebar ke ranah lainnya. “Jangan lupa, bahwa konstitusi melekat pada masing-masing anggota MPR, bukan pada fraksi-fraksi atau kelompok di MPR,” kata Idris.

 

Sekalipun usul amandemen telah disetujui, masih terdapat syarat lain sebagaimana diatur Pasal 37 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan untuk dapat mengubah pasal dalam UUD 1945, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 atau 470 orang dari jumlah anggota MPR. Sedangkan ayat (4)-nya menyebutkan, “Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR”.

 

“Karena itu, dalam pandangan Partai Golkar, tidak ada urgensinya melakukan perubahan UUD Negara RI 1945. Jika hanya terkait soal isu pokok-pokok haluan negara, maka dapat dibuat dalam bentuk UU,” usulnya.

 

Sementara Wakil Ketua MPR dari Fraksi Demokrat Syarief Hasan menegaskan partainya masih memegang pada keputusan awal yakni belum perlunya mengamandemen konstitusi. Sebab, konstitusi hasil amandemen keempat dinilai masih cukup memadai. “Partai Demokrat masih tetap memiliki prinsip bahwa amandemen ini belum pas untuk dilakukan penyempurnaan, karena cukup (memadai, red),” tegasnya.

 

Menurutnya, apapun yang digariskan dalam konstitusi sudah memenuhi harapan masyarakat. Kemudian, publik pun dapat melihat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Kerja Pemerintah (RKP) telah dituangkan dan diurai secara detil dalam membantu program kerja presiden dan kepala daerah. Mesti diakui, keputusan yang diambil pemerintah pusat seringkali tidak semua bisa diimplementasikan di tingkat daerah.

 

“Pertanyaannya, apakah ini kita akan selesaikan melalui amandemen atau sistem pemerintahan yang harus kita sempurnakan? Langkah tepat mengurai persoalan koordinasi tersebut cukup melalui UU.”

 

Namun demikian, masih terbuka ruang manakala publik menghendaki perubahan melalui ketetapan (TAP) MPR. Terpenting, bagi Demokrat tidak mengamademen konstitusi. Dia khawatir bila amandemen dilakukan menyeluruh misalnya, dipastikan bakal menyentuh persoalan masa jabatan presiden dan wakil presiden termasuk mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih langsung atau melalui MPR.

 

Menurutnya, TAP MPR dibuat oleh MPR dan dilaksanakan presiden. Menurutnya, secara implisit terdapat pesan MPR lebih tinggi kedudukannya daripada presiden. Padahal, telah disepakati MPR merupakan lembaga tinggi negara, bukan lembaga tertinggi negara (lagi). Kendati demikian, kata Syarief, MPR terus menyerap aspirasi masyarakat hingga ke kalangan kampus terkait usulan amandemen konstitusi.

 

“Kita tidak boleh salah dalam menentukan sikap, kita tidak boleh salah dalam mengambil keputusan,” katanya.

 

Pentingnya haluan negara

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan adanya tiga fraksi partai yang menilai pentingnya haluan negara dengan melakukan amandemen konstitusi terbatas yakni Fraksi PKS, Demokrat, dan Golkar. “Ini bisa berimplikasi mengubah ketentuan Pasal 3 UUD 1945, atau mengatur haluan negara dengan UU tersendiri?”

 

Basarah menilai perlunya melihat persamaan dari fraksi partai politik dan kelompok DPD terkait perlunya kehadiran kembali haluan negara untuk menuntun arah pembangunan nasional. Menurutnya, terkait aspek perencanaan pembangunan nasional pasca dihapusnya kewenangan MPR dalam menetapkan haluan negara, digantikan rezim UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

 

“Kami anggap (UU 25/2004, red) tidak cukup baik untuk memastikan kesinambungan pembangunan nasional bangsa Indonesia,” kata dia.

 

Sebagai UU pengganti GBHN, UU 25/2004 bersifat eksekutif sentris dengan memberi petunjuk bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional. Padahal, tujuan pembangunan nasional Indonesia tak hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga lembaga-lembaga yang masuk dalam konstitusi dan diberikan kewenangan melalui UU memiliki tanggung jawab  untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia.

 

Kelemahan UU 25/2004, kata Basarah, tidak memberi arah antara visi dan misi program pembangunan nasional calon presiden dan calon wakil presiden, calon gubernur, hingga calon bupati/walikota bila terpilih. Menurutnya, beberapa persoalan di lapangan akibat kelemahan UU 25/2004 menjadikan perlunya payung hukum tentang haluan negara melalui amandemen UUD Tahun 1945 terbatas pada Pasal 3. Yakni menambahkan frasa “berwenang menetapkan haluan negara” agar memberi kedudukan hukum konsepsi pembangunan nasional melalui ketetapan MPR.

 

“Agar dia (UUD 1945) dapat memberi pengaturan di bawahnya agar menyesuaikan, mengikat lembaga-lembaga dibawahnya termasuk kepala-kepala daerah yang menjalankan kekuasaannya mengikuti roadmap pembangunan nasional bangsa Indonesia,” katanya.