Belajar dari BUMN Malaysia, Bulog Bisa Rugi Kalau Monopoli Pasar

by
https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2019/11/29/d38b2cba-0021-4b84-add6-1de2b32650fc_169.jpeg?w=700&q=80
Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Jakarta - Pemerintah bisa belajar dari Malaysia dalam mengelola beras nasional melalui Perum Bulog. Di Malaysia ada BUMN serupa, yaitu Bernas (Padiberas Nasional Berhad).

Ketahanan pangan dianggap sebagai isu strategis. Salah satu instrumen kebijakan yang diterapkan adalah dengan BUMN, dalam hal ini Perum Bulog.

Penelitian yang dirilis oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), lembaga riset independen menjelaskan, meskipun BUMN hadir sebagai lembaga yang berwenang, terkadang mendapat kritik akibat kebijakan monopoli yang justru membawa kerugian. Studi ini ditulis oleh Bustanul Arifin, Fatimah Mohamed Arshad dan Yeong Sheng Trey.

Oleh karenanya, dianggap penting untuk mempelajari efektivitas BUMN dalam mencapai tujuannya sekaligus mempertimbangkan dampak yang diakibatkan.

Berkaca dari Malaysia, Bernas juga menjadi kunci dalam perdagangan beras. Selama beberapa tahun lamanya, Bernas menjaga tata niaga beras untuk kesejahteraan para petani di negaranya.

Akan tetapi, sistem monopoli yang dilakukan Bernas juga mendapat kritik dari pihak swasta. Akhirnya pada tahun 2021, pemerintah Malaysia memutuskan untuk memberhentikan kewenangan monopoli impor oleh Bernas dan mencari solusi baru.

Kesimpulan dari penjabaran studi tersebut, ditemukan bahwa BUMN memang cukup berhasil mencapai target ketersediaan serta keterjangkauan pangan di kedua negara. Namun terdapat beberapa temuan yang muncul.


Pertama, adanya kerugian yang dialami oleh industri padi dan beras. Di Malaysia, harga beras yang dikendalikan oleh negara menyebabkan monopoli rantai pasokan padi dan beras secara bertahap sehingga membatasi inovasi dan kompetisi pemain pasar.

Sementara di Indonesia, kebijakan proteksionis berdampak pada kesejahteraan konsumen dikarenakan semakin besarnya ketimpangan antara harga beras domestik dan internasional.

Temuan kedua, munculnya distorsi pasar yang tidak diinginkan, misalnya pasar yang tidak kompetitif dan minim inovasi, minimnya kesempatan untuk melakukan mobilisasi bagi produsen berpenghasilan rendah, serta akses yang terbatas kepada nutrisi yang berkualitas dan murah bagi konsumen hingga berdampak pada keseluruhan ekonomi.

Temuan ketiga, kebijakan stabilisasi yang dilakukan oleh kedua negara cukup berhasil melindungi produsen padi dan konsumen beras dari guncangan harga internasional. Akan tetapi, kebijakan ini membebani dan merugikan konsumen karena harus menanggung pajak tidak langsung, terutama ketika harga beras global jatuh di bawah harga beras domestik.

Oleh karena, pemerintah dianggap perlu menilai kembali kebutuhan dan tujuan dari adanya BUMN untuk mengatasi berbagai permasalahan ketahanan pangan saat ini.



Simak Video "Mentan Curhat Pernah Difitnah Terima Gratifikasi Pabrik Gula"
[Gambas:Video 20detik]
(toy/fdl)