https://images.hukumonline.com/frontend/lt5de0c865c29a7/lt5de0c9712a7fe.jpg
Rapat BKS Fakultas Hukum PTN di kampus FH UI Depok, 29 Nov 2019. Foto: Edwin

Dekan FH PTN Se-Indonesia Rombak Profil Lulusan Hukum, Seperti Apa?

by

Tarik ulur antara tantangan revolusi industri 4.0, masyarakat 5.0 dan filosofi pendidikan.

Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri Se-Indonesia (BKS Dekan FH PTN) menyusun ulang profil sarjana hukum Indonesia. Tantangan revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 disebut sebagai dua alasan terkuat. Rapat Nasional yang diselenggarakan sejak Kamis hingga Jumat (29/11) ini akan menghasilkan rekomendasi baru soal desain pendidikan tinggi hukum di Indonesia.

 

“Kami ingin menghasilkan standar dan acuan bagi Fakultas Hukum Se-Indonesia, menyesuaikan kondisi kekinian, mencocokkan antara pendidikan dengan aplikasinya,” kata Farida Patittingi, Ketua BKS Dekan FH PTN kepada hukumonline. Farida adalah Guru Besar Hukum Agraria yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanudin.

 

Ade Maman Suherman, Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, menjelaskan hal yang sama. Dorongan perubahan zaman yang kian cepat perlu mendapat perhatian serius dari pemangku kepentingan seperti kampus hukum. “Masyarakat sudah berubah, menjadi kebutuhan untuk merespons tren, apakah sudah terakomodasi atau belum dalam kurikulum kita,” ujarnya sebagai salah satu anggota Steering Committee.

 

Farida mengatakan pembahasan dalam rapat nasional mereka terbatas pada lingkup profil lulusan jenjang sarjana. BKS Dekan FH PTN tidak membahas profil lulusan jenjang magister dan doktor. Kebebasan untuk mengembangkan inovasi kurikulum di kampus hukum masing-masing pun tetap berlaku. “Bukan berarti menyamakan semua hasilnya, tapi lulusan kita punya acuan standar yang sama,” ujar Farida.

 

(Baca juga: Prospek Lulusan Hukum Masih Cerah di Pasar Global)

 

Tujuannya untuk makin mengurangi kesenjangan kualitas lulusan sarjana hukum dari PTN se-Indonesia. Terutama di era perubahan cepat yang turut mempengaruhi harapan publik pada sarjana hukum. Salah satu yang menjadi perhatian serius adalah harapan dari sektor profesi hukum. Farida menyebutkan ada perbedaan standar tentang profesi hukum. Profesi advokat menuntut sarjana hukum untuk mengikuti program pendidikan khusus untuk menjadi advokat. Lalu, profesi notaris bahkan mengharuskan lulus magister kenotariatan. “Kami ingin membedah dulu masalahnya, mengapa undang-undang terkait profesi-profesi hukum itu menambah syarat pendidikan lagi untuk sarjana hukum berpraktik,” kata Farida.

 

Padahal ada berbagai mata kuliah praktik hukum dalam kurikulum sarjana hukum. Pembahasan para dekan ini disebutnya tidak menutup kemungkinan evaluasi berbagai syarat tambahan untuk berkarier profesi hukum.

 

Anggota Steering Committee BKS Dekan lainnya, Edmon Makarim mengkritik tuntutan pendidikan tambahan dari profesi hukum. “Seolah-olah pendidikan hukum kita tidak menyiapkan untuk terjun dalam praktik. Padahal ada banyak mata kuliah praktik,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

 

Edmon bahkan mengkritik sudut pandang bahwa pendidikan tinggi hukum harus mengikuti sepenuhnya tuntutan pasar. “Tidak fair kalau begitu, bagaimana kalau market-nya yang sesat,” kata Edmon. Ia menjelaskan bahwa masukan dari sektor profesi yang menyerap sarjana hukum patut dipertimbangkan. Namun tidak seharusnya menjadi pertimbangan utama.

 

Ahli hukum teknologi ini juga mengingatkan agar era disrupsi teknologi tidak membuat pendidikan tinggi hukum salah arah. Filosofi pendidikan yang berkontribusi pada pengembangan kebudayaan dan peradaban harus dipertahankan. “Bukan orang hukum tunduk pada teknologi, tapi bisa ikut mengatakan harusnya teknologi dikembangkan seperti apa,” ia menjelaskan.

 

(Baca juga: Kisah di Balik Ketertarikan Profesor Indonesianis pada Hukum Indonesia)

 

Edmon mewanti-wanti bahwa tantangan global revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 tidak membuat pendidikan hukum Indonesia kehilangan pijakan. “Teknologi tidak selalu benar, bisnis tidak selalu benar, hukum harus jadi yang utama,” katanya.

 

Rapat Nasional para Dekan FH PTN ini tercatat dihadir oleh lebih dari 40 kampus dari 59 FH PTN anggota BKS Dekan FH PTN. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto ikut diundang sebagai salah satu narasumber. Sebelum menjabat Kepala BPHN, Benny tercatat sebagai Ketua BKS Dekan FH PTN saat masih menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.