Dukungan Indonesia bagi Perdamaian Afghanistan Berkelanjutan Hingga ke Level PBB
by Retno MKBRN, Jakarta : Perang di Afghanistan sejak beberapa dekade terakhir yang memakan banyak korban, menjadi perhatian dunia internasional. Tidak terkecuali Indonesia, yang hingga kini terus memberikan bantuan demi tercapainya perdamaian di Afghanistan.
Momentum pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Ashraf Ghani pada tahun 2017 dan 2018, semakin memperkuat komitmen Indonesia untuk membantu Afghanistan.
Bantuan yang diberikan Indonesia tidak hanya sebatas bantuan moral, tapi juga komitmen untuk memberikan bantuan pembangunan kapasitas SDM Afghanistan hingga menyuarakannya pada pertemuan-pertemuan multilateral.
Setelah sukses menyelenggarakan pelatihan dibidang perdagangan, energi dan pertambangan serta menggelar pertemuan "Trilateral Ulama" dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Indonesia kembali menggelar lokakarya bagi SDM Afghanistan, kali ini difokuskan bagi pemberdayaan para kaum perempuan setempat.
Lokakarya yang menitikberatkan pada upaya membangun perdamaian berkelanjutan bagi perempuan Afghanistan itu, diselenggarakan pada 29-30 November di Jakarta. Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri lagi-lagi menunjukkan komitmennya untuk mendukung peningkatan kualitas SDM perempuan Afghanistan yang dinilai memiliki peran besar dalam menciptakan perdamaian.
Namun, menurut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, komitmen Indonesia itu tidak hanya dilakukan pada tingkat bilateral, tapi lebih jauh lagi adalah hingga di level PBB.
"Di antaranya mengadakan kolaborasi bersama Afghanistan, kedua adalah untuk memberdayakan para perempuan dalam konteks perempuan sebagai mediator dan negosiator. Hal itu juga diikuti dengan pelatihan bagi negosiator dan mediator untuk pertama kalinya," ujar Retno Marsudi ketika memberikan keterangan pers bersama menteri Komunikasi dan Kebudayaan Afghanistan, Hasina Safi, di Jakarta Jumat (29/11/2019).
Retno menjelaskan, perempuan memiliki peran besar dalam proses perdamaian, olehkarena itu dinilai penting bagi para perempuan Afghanistan untuk dapat berperan sebagai mediator maupun negosiator.
"Dalam pertemuan saya di New York Desember lalu, kami ingin membangun jaringan kerja bagi mediator dan negosiator. Sebab, jika Anda lihat ke dalam peta bahwa masih ada ruang kosong ketika itu berbicara mengenai Asia Selatan. Jadi, Indonesia ingin mengambil peran dalam membangun peran perempuan sebagai mediator dan negosiator dan berkomitmen dalam jaringan kerja internasional," imbuhnya.
Ditambahkan Retno, secara umum Indonesia berkomitmen untuk terus mendukung peran perempuan penjaga perdamaian, yang dinilai masih menjadi kebutuhan di negara-negara konflik maupun yang dilanda perang saat ini.
"Ketiga, adalah memberdayakan para perempuan dalam operasi menjaga perdamaian. Dan, kami sudah lakukan itu dan akan terus kami lanjutkan. Sebab apa yang kami observasi dan saksikan bahwa ada kebutuhan besar di lapangan untuk kehadiran para perempuan penjaga perdamaian di negara-negara yang terdampak konflik dan perang," ungkap Retno lagi.
Sedangkan, terkait penyelenggaraan dialog dengan fokus membangun perdamaian berkelanjutan yang dihadiri oleh 38 perempuan Afghanistan dan pembicara dari kalangan perempuan Indonesia, Retno Marsudi mengharapkan, akan menjadi wadah bertukar pengalaman dan memastikan tidak ada perempuan Afghanistan yang ditinggalkan.
"Kami juga mengakui bahwa membangun perdamaian itu kritis dilakukan. Jadi, dari dialog ini kami ingin melanjutkan usaha bagi terbangunnya "kepercayaan diri". Saya juga menilai bahwa perempuan sebagai agen perdamaian dan toleransi. Dialog itu sendiri sangat penting untuk menjembatani "gap" dari para perempuan dari berbagai latarbelakang. Kami ingin memastikan tidak ada wanita yang ditinggalkan di Afghanistan di masa depan," tegasnya.
Menteri Komunikasi dan Kebudayaan Afghanistan, Hasina Safi mengatakan, selain memberikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia yang telah memfasilitasi dialog bagi puluhan perempuan Afghanistan, pihaknya juga menilai dialog sebagai awal dari koordinasi dan kerja sama dalam upaya proses perdamaian.
"Ini adalah awal dari koordinasi bersama. Kami ingin sekali hal ini dilakukan secara efektif bagi pemberdayaan perempuan. Terutama pula dalam menjembatani "gap" yang ada selama ini. Jadi, setelah dialog ini kemungkinan besar kami akan memutuskan untuk detail yang lebih spesifik," jelas Hasina Safi.
Hasina menyebut, pihaknya berharap usai lokakarya rampung dapat diikuti dengan monitoring terhadap hasil yang dicapai oleh para perempuan Afghanistan.
"Terkait monitoring dimana setiap pekerjaan yang dilakukan kita membutuhkan analisa terkait diri kita sendiri secara sering. Kita harus memiliki implementasi yang sederhana. Dimana menurut kami hal itu dibagi kedalam level terbawah dan teratas. Apakah kita meningkatkan diri kita sendiri, apakah itu efektif ataukah kita hanya menghabiskan anggaran?. Jadi, menurut saya monitoring dan evaluasi sangat penting bagi seluruh level," tegasnya lagi.
Sementara, sebanyak 38 perempuan dari wilayah pedesaan dan perkotaan Afghanistan diundang oleh pemerintah Indonesia dalam lokakarya yang berlangsung pada pekan ini di Jakarta.
Selain dialog, lokakarya juga mengetengahkan mengenai kesehatan ibu dan anak, pendidikan anak serta kewirausahaan. (Foto: Dok Kemenlu)