Industri Pengolahan Sumbang Andil Besar Kenaikan Kredit Bermasalah

by
https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2019/11/29/1129761/670x335/industri-pengolahan-sumbang-andil-besar-kenaikan-kredit-bermasalah.jpg
OJK. ©2013 Merdeka.com/Harwanto Bimo Pratomo

Merdeka.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga Oktober 2019 rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) perbankan naik menjadi 2,73 persen gross secara bulanan dari sebelumnya 2,66 persen. Sementara secara nett, NPL juga meningkat menjadi 1,21 persen dari sebelumnya 1,15 persen.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Slamet Edy Purnomo mengatakan, kenaikan NPL paling banyak disumbang oleh sektor industri pengolahan. Sektor industri tersebut memiliki total utang kepada perbankan hingga Rp900 triliun.

"Itu NPL-nya dibandingkan dengan posisi Oktober sebelumnya itu kan dia NPL-nya naik dari Desember (2018) itu sekitar 2,5 persen ke 4,12 persen," kata dia, di Jakarta, Jumat (29/11).

Kinerja sektor industri yang demikian, juga dipengaruhi oleh kasus yang menimpa Duniatex Group. "Di industri ini terutama saya kira disumbangkan dari kasus Duniatex Grup ya. Kan di industri ini bukan hanya mencatat di industri hilirnya saja tetapi juga hulunya juga," ungkapnya.

Dia mengatakan, kini total utang Duniatex Grup sekitar Rp22 triliun. Jumlah utang tersebut, merupakan total utang gabungan dari induk usaha, anak usaha dan juga total utang pribadi. Total utang itu juga bukan hanya berasal dari bank namun juga dari non bank.

Saat ini, kasus tersebut masih dalam tahap sidang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), penghitungan tersebut masih belum final. Sebab hasil penghitungan total utang masih menunggu sidang PKPU.

1 dari 1 halaman

Pertumbuhan Kredit

Sementara untuk pertumbuhan kredit, sektor pertambangan mencatatkan penurunan kinerja. Per Oktober, pertumbuhan kredit sektor pertambangan minus 4 persen. "Pertumbuhan kredit sektoral yang paling dalam turun itu pertambangan. Dia pertambangan turun sekitar Rp 5 triliun turunnya sekitar -4 persen," urai dia.

Dia mengatakan, kesiapan infrastruktur transportasi juga menjadi faktor berpengaruh pada kinerja pertambangan. Sehingga meskipun mulai ada peningkatan harga baru bara, tapi jika transportasi tidak siap, maka akan menghambat kinerja pertambangan.

"Karena supply chain pertambangan seperti transportasi di hilir itu masih belum bangkit. Walaupun harga misalnya batu bara naik, tapi transportasinya terganggu juga tidak bisa ekspor atau produksinya," tandasnya. [azz]

Baca juga:
Sektor Jasa Keuangan RI Tetap Stabil di Tengah Gejolak Ekonomi Global
Bank Mandiri Cabang Sorong Jadi Kantor Pengelola Kas Titipan Terbaik di 2019
Kembangkan Wisata Halal Jakarta, Bank DKI Siapkan Produk Syariah
Deretan Bank Terkaya di Dunia
Ini 8 Bankir Terbaik Indonesia di Tahun 2019
Jelang Akhir Tahun, BTN Target Penyaluran Kredit Skema BP2TB Rp609 Miliar