Cerita Pasien Buta Gugat RS Mata Solo dan Diberi Santunan Rp75 Juta
by Yuni Ayu Amidalink telah dicopy
Jakarta - Seorang penjual soto Lamongan asal Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Karanganyar, Kastur (65), merasa jadi korban malpraktik RS Mata Solo hingga alami kebutaan. Ia pun menggugat rumah sakit tersebut dengan meminta ganti rugi sebanyak Rp10 miliar.
Berdasarkan penuturan Kastur, hampir 3 tahun ia mengalami kebutaan. Mulanya, ia hanya mengeluh sulit membaca berita pada teks berjalan di televisi. Kemudian ia mendatangi RS Mata Solo untuk dibuatkan kacamata. Namun, setelah diperiksa, dokter berinisial RH memintanya untuk melakukan operasi karena diduga mata kanannya mengalami katarak parah.
"Dokter bilang kataraknya sudah hilang. Saya tanya soal kacamata lagi, katanya masih harus kontrol terus tiap bulan," kata Kastur.
Pada Januari 2017, Kastur kembali divonis mengalami katarak. Namun kali ini di mata kiri. Ia pun diminta operasi lagi untuk menghilangkan kataraknya.
"Tapi yang kedua ini sakit sekali. Kalau yang pertama dulu tidak sakit. Tapi setelah itu memang mata saya jernih," ujar dia.
Setelah operasi, ia malah merasa kondisinya semakin tidak baik, matanya semakin buram. Setelah empat pekan pascaoperasi, matanya menjadi buta. Hingga kini, Kastur harus memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya yang buta.
Kastur pun sempat dirujuk ke RSUP dr.Kariadi, Semarang. Namun, dokter mengatakan bahwa kornea matanya sudah penuh goresan dan dalam.
"Lalu dirujuk ke RSCM Jakarta, biayanya per kornea Rp30 juta, tapi tidak ditanggung BPJS Kesehatan," katanya.
Tali asih Rp75 juta
Setelah kejadian tersebut, RS Mata Solo memberikan uang Rp75 juta pada Kastur. Menurut kuasa hukum RS Mata Solo, Rikawati, uang tersebut bukanlah uang damai. Namun diberikan atas nama kemanusiaan.
"Yang ada justru dia mengajukan permohonan kemanusiaan kepada RS Mata atas operasi korneanya. Bahkan kami sudah membantu koordinasi dengan RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk membantu operasinya. Tapi uang tersebut malah digunakan untuk membayar utang," ujar Rika.
Bekti Pribadi membenarkan bahwa kliennya pernah mendapatkan tali asih sebesar Rp75 juta dari RS Mata Solo. Namun uang itu digunakan untuk ganti rugi kornea yang rusak dan biaya transportasi.
Meski begitu, Bekti tidak menampik bahwa sebagian memang dipakai untuk membayar utang. Hal ini lantaran selama mengalami kebutaan Kastur juga mengalami banyak kerugian, seperti tidak bisa bekerja. Dia juga banyak berutang untuk menanggung biaya hidup.
"Kita hitung pemasukan Pak Kastur sehari itu 600 ribu (rupiah), jadi kita hitung kerugian materialnya 570 juta. Sedangkan kerugian imaterialnya kita hitung 10 miliar," kata Bekti.
Dilaporkan balik
Merasa dirugikan dengan laporan Kastur, RS Mata Solo kemudian melaporkan balik pasien yang mengalami kebutaan pascaoperasi tersebut. Kastur dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik.
Rikawati, selaku kuasa hukum RS Mata Solo menuturkan resmi melaporkan kasus itu ke Satreskrim Polresta Surakarta pada Sabtu (23/11/2019). Dengan sangkaan Pasal 27 ayat 3 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Tidak tertutup kemungkinan juga melanggar Pasal 378 atau 372 KUHP tentang penipuan dan/atau penggelapan," kata Rika, dilansir detikcom.
Di samping itu, terkait kasus ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Solo menyatakan ada mispersepsi antara pasien dengan dokter. Ketua IDI Solo dr.Adji Suwandono, SH, Sp.F, mengatakan kasus tersebut pernah dibahas di internal IDI. Dokter yang menangani Kastur, RH juga sudah menjelaskan kronologinya.
Dalam klarifikasi yang dihadiri pengurus IDI, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota, serta pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia Surakarta, tidak ditemukan malapraktik. Kebutaan yang dialami Kastur adalah karena penyakit komplikasi yang dideritanya.
"Rumah sakit sudah melakukan tindakan sesuai prosedur. Termasuk sudah merujuk ke RS lain yang bisa menangani komplikasi tersebut," ujar Adji.
Terkait pemberian tali asih berupa uang tunai dari RS Mata Solo pada Kastur, menurut Adji, tindakan tersebut kurang tepat. Hal ini karena uang tersebut tidak digunakan untuk pengobatan, justru untuk membayar utang.
"Ini menjadi evaluasi juga. Dampaknya kalau diberikan uang tunai justru untuk hal lain," tegasnya.
Simak intimate interview dengan Eriska Rein ini, Bunda.
[Gambas:Video Haibunda]
Klik banner di bawah ini